Translate

Minggu, 30 Desember 2012

Karomah Para Wali, dari Mbah Hamid hingga Kiai Dimyati


Oleh: Nashihuddin Asy'ary

Karomah Para Wali, dari Mbah Hamid hingga Kiai Dimyati

Teman-teman Naqshabandi Semarang mengharapkan saya (Moh Yasir Alimi) menemani perjalanan mereka dan Syaikh Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani ke Jogja agar kami bisa ngobrol di mobil. Perjalanan kami melewati Salatiga, dan di sinilah, Syaikh Mus bercerita tentang Kiai Munajat.
Cerita ini dan juga cerita tentang Mbah Dimyati memberi ilustrasi tentang getar di dada, rasa yang hidup dan bergelora di dada Sayidina Abu Bakar dimiliki oleh Kiai-Kiai NU. Rasa dan getar di dada yang muncul karena dzikir, yang bahkan setelah kewafatan mereka pun mereka masih "online".
Cerita ini menjadi semakin menarik dikaitkan dengan cerita Kiai Said tentang ulama-ulama Timur Tengah yang maju dalam intelektualitas tapi mereka gagal menjadi ruh bagi masyarakatnya. Santri bukan pakaian dan bukan identitas. Santri adalah rasa fana di dalam Allah dan keterkaitan dengan Rasullah. Menjadi santri adalah leburnya ego, hidupnya spiritual di dada, keterkaitan ruhani dengan Rasulullah dan menjadi rahmat bagi semesta. Berikut adalah wawancara saya dengan Syaikh Mustafa.
Ceritakan padaku tentang Kiai Munajat ini?
Kiai Munajat seorang kiai yang pemberani. Beliau menyelamatkan Kolonel Darsono meski dengan resiko. Setelah dua tahun lebih dari cerita Kolonel Darsono, Syaikh Mus baru datang ke sana. Sampai pada tepi sawah kemudian ketemu seorang petani.
“Ajeng teng pundi ki sanak? “Saya mau ke rumahnya Kiai Munajat”. “Oh saya antarkan, saya salah satu muridnya yang pertama.” Ternyata Kiai Munajat sudah wafat empat puluh hari sebelumnya. Kiai Munajat diteruskan oleh anaknya Kiai Munawir, Kiai Munawir ini seorang Kiai yang sangat tawadhu’. Walaupun sudah meninggal, teryata ada masih nyanbung. Santri-santrinya Kiai Munawair kalau menghapal Al-Qur'an di kuburan Kiai Munajat dan murid-murid merasa sangat gampang menghapal Al-Qur’an.
Di situ ngaji seperti suara lebah, karena ramainya mengaji. Saya pernah mengajak teman-teman mampir di sini, teman-teman pada bertanya “Ini ada acara apa?” “Ya ndak ada, ini memang seperti ini setiap harinya. Al-Qur’an tidak pernah berhenti.”
Kalau berkunjung, saya selalu mondok di sumur beliau. Airnya seger sekali. Tempat beliau dekat terminal Salatiga, dekat kantor NU. Kiai Munajat wafat tahun 1986 atau 1987. Hubungan saya dengan beliau begitu intens. Beliau Jenis orang yang sesudah meninggal masih "online".
Subhanallah. Bagaimana dengan cerita tentang Mbah Dimyati?
Aulia jaman dahulu memang seperti Kiai Munajat itu. Yang model seperti itu di banyak tempat. Di Kedawung, Pemalang ada Mbah Dimyati. Sudah wafat pun masih membantu menghapalkan Al-Qur'an pada cucunya. Ternyata paman saya Kiai Dahlan Kholil mengambil ijah Al-Qur'an dari beliau. Isteri saya pernah dapat cerita dari anaknya bahwa cucunya kalau menghapal Al-Qur'an selalu di kamar Mbah Dim, dan dia merasa selalu disimak Mbah Dim.
Untuk mendapatkan perspektif bagaimana sosok Mbah Dim, ada suatu cerita begini. Suatu hari Mbah Dim menghadiri manaqib di Pekalongan. Ada Habib pulang duluan membawa mobil, Mbah Dim dengan sepeda onthel. Ternyata mobil tersebut mogok dan Mbah Dim mendapatinya.
"Mogok Bib?" tanya Kiai Dim.
“Ngenteni Njenengan, Kiai?” jawab Habib.
“Nggih mpun mriki. Ya sudah, ke sini. Kalau seperti itu tak lungguhani ‘Quran bodhol’.” (Saking tawadhu'nya beliau menyebut dirinya sebagai Al-Qur'an Bodhol, sudah awut-awutan, lepas-lepas kertasnya. MasyaAllah)
“Mpun monggo distater,” kata Kiai Dim.
“Sepedamu disendekke situ. Tak ampirke omahku. Ya sudah kuajak kau ke rumahku tak kei kopi” ajak sang Habib.
Itu tipikal ulama NU dulu yang sekarang semakin hilang. Linda yang akan kita kunjungi di Jogja ini, pernah bercerita pada saya begini. “Syaikh, ulama kalau bicara tentang kebaikan itu biasanya hanya omongan saja.” Apalagi sekarang, banyaknya kiai di TV. Itu profil scholarship yang ada sekarang. Hanya agama sebagai omongan saja.
Iya Syaikh. Kalau kita lihat sekarang agama di dunia Islam itu hanya omongan saja. Ketika orang bicara tentang kebaikan hanya ngomong saja. Allah pun menjadi sekedar omongan, bukan getar di dada. Allah menjadi sangat abstrak. Padahal Allah adalah Dhat yang Maha Lahir dan Maha Batin. Apa yang hidup di dada Abu Bakar, di Kiai Munajat, di Kiai Dimyati sebagai rukun Islam itu tidak ada. Apa sebabnya bisa menjadi begini?
Ada faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa operasi Yahudi agar umat Islam agar umat Islam saling bertengkar. Di Semenanjung Arabia, operasi Yahudi ini melahirkan wahabi.
Betul, Syaikh. Wahabi hanya menjadikan agama sebagai wacana saja, bukan keimanan. Al-Quran sebagai debat bukan sumber akhlak. Modus keagamaan Wahabi adalah debat. Melalui debat dan menyalahkan orang lain inilah mereka mendapatkan diri mereka sebagai Muslim. Bukan ibadah mereka pada Allah.
Di samping faktor eksternal itu ada juga faktor internal, yaitu internal weakness yang berupa: hubburiyasah (gila kekuasaan), karohiyatul maut (takut mati), dan hawa nafsu. Di lingkungan NU, tekanan eksternal itu adalah Suharto dengan deulamaisasi dan denuisasi. Suharto merusak ulama dan pesantrennya dengan cara menyebar uang dan menarik mereka dalam kekuasaan. Suharto rusak pesantren dan ulama, sehingga figur-figur seperti Kiai Munajat dan Kiai Dimyati tidak ke permukaan lagi.
Belum lama ini saya ke putera bungsunya Kiai Hamid Pasuruan. Saya dekat sekali dengan beliau.
“Syaikh, orang datang ke kita seperti datang ke Kahin.”
“Mending Gus, mereka ini datang njenengan bukan datang ke Kahin beneran,” jawab Syaikh Mus.
“Dulu, waktu Mbah Hamid, ada orang Madura datang ke rumah, membawa buntelan. Terus ditanya: Apa itu?”
“Biasa” jawabnya. “Kembang”.
“Digawe apa?” Tanya Kiai Hamid.
“Sampean dongani, agar kapalku dapat banyak ikan dan besar.”
“Oh, Ditaruh kapal. Kalau kembange ditaruh kapal, kembange jadi amis atau ikannya yang wangi. Taruh saja di rumah, di tempat tidurmu biar tempat tidurmu menjadi wangi,” saran Kiai Hamid dengan lemah lembut. “Kon deleh di sajadahmu biar kalau sembahyang menghirup bau wangi”.
“Baiklah kalau begitu, Kiai.”
Beberapa hari berikutnya sang nelayan datang dengan ikan besar.
“Saya mau memberikan ikan-ikan ini kepada Kiai. Karena doa kiai saya mendapatkan ikan yang besar dan banyak.”
“Lho aku belum doa je..” jawab Kiai Hamid sambil tersenyum. Inilah persembunyian dan ketawadhuan Kiai Hamid. Sebenarnya, tentu saja sudah didoakan.
Inilah kekuatan dan kelemahan internal. Inilah internal strength yang aku maksudkan. “aku belum berdoa loh”. Wah, Inilah persembunyian Kiai Hamid. Luar biasa. Kalau tanpa internal strengthness di dalam hati, siapapun akan gampang terseret tsunami dunia yang besar.
Karena kualitas-kualitas seperti inilah, maka beliau-beliau para ulama itu menjadi spreader of love cahaya Muhammad di segala penjuru. Maka di mana-mana saya mengajak muslim untuk haul, kembali menghidupkan pertalian batin mereka dengan Rasulullah.
Saya melakukannya dengan action plan, bukan dengan penjelasan, bukan dengan frame of reference. Ulama dahulu menunjukkannya dengan karomah. “Karena saya khodimnya Syaikh Nadhim, dalam fana fi syaikh, ibaratnya saya hanya memegang gagang tombak. Ujung tombaknya adalah Syaikh Nadhim. Sedangkan Syaikh Nadhim dalam kefanaannya fi rasul, beliau tidak ada. Beliau hanya mengadakan Rasulullah SAW untuk orang banyak dan kehidupan saat ini dalam suatu transparani”.
Perjalanan kami sudah sampai Magelang. Cerita kami berganti tentang Kiai Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur, pertalian antara lailatul ijtima NU dengan majelis dzikir Walisongo di Masjid Demak.
Saya akan menuliskan cerita ini dalam edisi berikutnya. Dengan cerita di atas, semoga bisa mengambil manfaat. selamat menghidupkan kembali rasa di hati, senantiasa tenggelam dalam hadharah Qudsiyyah Allah, dan menjalin pertalian dengan Rasulullah SAW, sehingga bisa berkata pada masalah umat. 


Sumber: http://www.facebook.com/groups/channelnahdliyin/doc/430014197049738/

KH. Hasani Nawawie (Sidogiri)


KH. Hasani Nawawie
(Sidogiri) 

Kiai Hasani Muda:
Diplomat Ulung di Masa Belanda Lahir sekitar tahun 1924/1925, Kiai Hasani sudah yatim semenjak masih dalam usia dini. Abah beliau, K.H. Nawawie wafat ketika Kiai Hasani masih berusia sekitar 2 tahun. Kiai Hasani adalah putera bungsu KH. Nawawie bin Noerhasan. Beliau adalah satu dari 8 bersaudara putera Kiai Nawawie. Masing-masing adalah KH. Noerhasan bin Nawawie (dari Nyai Ruyanah); Nyai Hanifah, K.H. Kholil Nawawie, Nyai Aisyah (dari Nyai Nadhifah); K.H. Sirajul Millah, K.A. Sa’doellah Nawawie dan K.H. Hasani Nawawie (dari Nyai Asyfi‘ah). Tanda-tandanya sebagai ulama yang dekat dengan Allah sudah tampak semenjak muda. Tidak seperti umumnya anak-anak muda, Kiai Hasani menghabiskan masa belianya penuh dengan cahaya keagamaan. Beliau adalah sosok pemuda yang agamis, wara’, khusyu’, rajin, dan berbudi pekerti luhur. Menghabiskan waktu dengan aktivitas tak berguna merupakan hal yang sangat tidak disukainya. Raut wajahnya sejuk dipandang. Bila berjalan, selalu menundukkan kepala dan tampak sangat tenang. Tak seperti kebanyakan putra ulama besar, Kiai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu di berbagai lembaga pendidikan. Beliau tidak pernah bersekolah dan mondok di pesantren manapun kecuali di pesantren abahnya di Sidogiri. Dalam hal ini Kiai Hasani mengaku dirinya mondok ke Sidogiri dari rumah ibunya (Ibu Nyai Asyfi’ah) di Gondang Winongan ke Sidogiri. Selain itu, beliau tidak pernah mondok ke mana-mana. Kiai Hasani lebih banyak mendapatkan ilmunya secara otodidak. Semasa hidup, putra bungsu K.H. Nawawie bin Noerhasan ini, hanya mempunyai tiga orang guru. Pertama kali beliau belajar kepada K.H. Syamsuddin (?) di Tampung Winongan Pasuruan. Kepada ulama yang biasa dipanggil Gus Ud ini, Kiai Hasani ngaji kitab al-Ajurumiyah, ‘Imrithi dan Mutammimah. Selain kepada Gus Ud, di Tampung, beliau juga ngaji kepada K.H. Birrul Alim. Selanjutnya, Kiai Hasani belajar kitab Alfiyah Ibn Malik kepada kakak iparnya sendiri, K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur, di Sidogiri. Kitab monumental tentang ilmu nahwu (gramatika Arab) ini beliau pelajari sampai tuntas. Usai mengkhatamkan Alfiyah, atas saran kakak iparnya itu, Kiai Hasani bermaksud belajar ilmu fiqh (hukum Islam). Kiai Djalil juga berjanji akan membacakan kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir kepadanya. Tapi, sebelum kitab kaidah fiqh itu sempat diajarkan kepada Kiai Hasani, K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur terlebih dahulu wafat. Kiai Hasani merupakan satu-satunya orang yang belajar secara langsung kepada K.H. Abdul Djalil. K.H. Abdul Djalil adalah pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri pada era 1930-an serta menantu K.H. Nawawie bin Noerhasan, abah Kiai Hasani. Konon, salah satu penyebab Kiai Hasani alim tanpa perlu belajar di lembaga pendidikan mana pun adalah berkat doa K.H. Ma’ruf (Kedungloh Kediri). Kiai Ma’ruf adalah teman akrab K.H. Nawawie bin Noerhasan, Abah Kiai Hasani. Ia masyhur sebagai wali Allah. Bisa bertemu langsung dengan Nabi Khidir dan bila ada kesulitan, langsung berdialog dengan Rasulullah SAW. Suatu saat, Kiai Hasani sowan kepada ulama sepuh itu. Setelah menceritakan asal usulnya, beliau ditanya oleh K.H. Ma’ruf: “Apakah sudah hafal nadham Alfiyah?”. Dengan jujur, Kiai Hasani menjawab tidak. Lalu Kiai Ma’ruf menawari untuk belajar di pesantrennya selama 40 hari, tapi Kiai Hasani menolak. Kiai Hasani mengatakan beliau sulit untuk kerasan. Kiai Ma’ruf lalu menawari Kiai Hasani untuk mengamalkan puasa selama 3 hari. Selama puasa hanya diperkenankan sahur dan berbuka hanya dengan satu biji kurma. Dengan tirakat ini, K.H. Ma’ruf menjamin Kiai Hasani bisa alim tanpa belajar. Tapi, lagi-lagi Kiai Hasani menolaknya karena merasa tidak mampu melaksanakan amalan itu. Mendengar jawaban Kiai Hasani itu, K.H. Ma’ruf menyuruh beliau pulang dan berjanji akan mendoakannya dalam setiap sholat. Kiai Hasani memang tidak pernah mengenyam pendidikan di lembaga tertentu. Dalam pertualangannya mencari ilmu, Kiai Hasani lebih banyak mempelajari ilmu pengetahuan secara otodidak. Di dalemnya, beliau tekun me-muthalaah kitab-kitab. Tafsir dan akhlaq merupakan disiplin pengetahuan kesukaannya. Kitab-kitab yang beliau miliki penuh dengan catatan dan kertas-kertas kecil sebagai tanda bahwa terdapat sebuah pernyataan penting pada halaman kitab tersebut. Beberapa hari setelah wafatnya, kitab-kitab itu diwakafkan ke Perpustakaan Sidogiri. Kiai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya dari pesantren ke pesantren. Beliau hidup pada masa di mana penjajahan Belanda sedang pada puncaknya. Kiai Hasani muda lebih memilih berjuang melawan para penjajah itu dibanding menghabiskan waktunya di sebuah menara gading. Namun modus perjuangan yang beliau tempuh adalah modus yang unik. Tidak seperti Kiai A. Sa’doellah Nawawie, kakaknya, yang memilih berjuang mengangkat senjata, Kiai Hasani lebih suka berjuang melalui jalan diplomasi. Beliau kerap mendatangi kamp-kamp Belanda dan berpidato di situ. Dengan mendekati Belanda Kiai Hasani berupaya menetralisir incaran Belanda terhadap Sidogiri. Sidogiri, saat itu, memang sedang menjadi salah satu incaran utama pasukan Kompeni. Sidogiri merupakan markas perjuangan Kiai A. Sa’doellah dalam mengusir Belanda. Kakak Kiai Hasani itu sering memimpin pasukan untuk mengadakan penyerbuan terhadap Belanda dari Sidogiri. Apa yang dilakukan Kiai Hasani dengan mendekati Belanda ternyata cukup efektif untuk mengamankan Sidogiri dari serangan mereka. Jika pasukan Belanda mau menyerang Sidogiri, Kiai Hasani sudah menyetop mereka sebelum masuk ke Sidogiri. Beliau menyuruh mereka untuk kembali. Dan, mereka pun menuruti apa yang dikatakan Kiai Hasani. 

 Kiai Hasani Nawawi: Pola Hidup Sufi
21 Kali Bermimpi Soekarno Terletak di tepi selatan asrama Pesantren Sidogiri bersebelahan dengan Mesjid, dalem itu tampak sepi. Seperti tak ada kegiatan kerumahtanggaan di situ. Bangunannya tampak tua sekali, dengan jendela dan pintu bercat cokelat. Bagian depan berlantai semen seluas 1×3 meter. Tak ada aksesori apapun, hanya tampak beberapa pohon pisang di depan dalem. Pagar bambu yang menutupinya sudah tampak agak rusak. Di sebelah barat, dalem itu ditutupi beberapa satir dari anyaman bambu. Di sinilah, Kiai Hasani tinggal. Jika anda ke sana, anda tak mengira bahwa itu adalah dalem seorang ulama besar yang amat disegani, terutama di Jawa Timur. Rumah itu memang terlalu sederhana. Tapi, dari sinilah figur panutan itu meniupkan angin sufisme dari pikiran ke pikiran: sufisme yang tidak hanya dalam bentuk konsepsi, tapi sebuah realitas kehidupan. Kiai Hasani memang menyukai hidup sederhana. Apa yang dijalani dalam hidupnya merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai sufistik yang tak mengacuhkan materi. Sufisme memang telah menjadi pandangan hidup beliau sejak muda. Beliau konsisten dengan nilai-nilai itu, qawlan wa fi‘lan. Sehingga ada kesan unik pada pola hidup yang beliau jalani. Memang pola hidup sufistik pada jaman ini, secara realitas tidaklah populer, meski hal itu sering muncul sebagai komoditas wacana. Ia telah menjadi tumpukan cerita di masa lalu. Nilai utama sufisme yang selalu dipegang teguh oleh beliau sampai akhir hayatnya adalah al-bu‘d ‘an al-dun‘ya. Dalam catatan sejarah, nilai ini dipopulerkan oleh Sayyidina Ali yang menyatakan talak tiga untuk dunia. Begitu pula dalam pandangan Kiai Hasani, hubb al-dun‘ya (suka dunia) adalah penyakit yang telah amat kronis menimpa umat ini. Suatu ketika, dalam sebuah manuskripnya, beliau mengungkapkan bahwa akar dari kerusakan umat ini adalah kesenangan ulama-ulamanya kepada dunia. Memang, dari 8 orang putra Kiai Nawawie, semuanya hidup miskin. Tapi, yang membuat Kiai Hasani berbeda dari saudara-saudaranya adalah kesempatan untuk kaya selalu beliau tolak. Beliau tidak pernah menghiraukan urusan uang dan harta. “Jangan sampai engkau tahu, berapa jumlah uang yang ada di sakumu,” dawuh beliau. Begitulah Kiai Hasani dalam memandang dunia. Zuhud (asketisme) menjadi cermin utama dalam pola hidup yang beliau jalani. Seperti tak ada kesukaan sedikit pun terhadap dunia. Kalau pada umumnya, para tokoh (termasuk ulama) menyukai fasilitas-fasilitas mewah, tapi lain halnya dengan Kiai Hasani. Beliau malah hidup sangat sederhana. Tidak suka mobil. Sering tampak berjalan kaki atau naik becak untuk sebuah keperluan. “Keinginan punya mobil saja, aku tidak ingin,” dawuhnya suatu ketika kepada K.H. Nawawi bin Abdul Jalil, keponakannya. Jika anda masuk ke dalem Kiai, maka mesti tersirat sebuah kesimpulan betapa sederhananya beliau. Di dalem, tidak terdapat peralatan apa-apa. Tak ada hiasan dan hanya berlantai semen. Menariknya di dinding sebelah dalam, Kiai menggantungkan celurit, pacul dan tangga. Entah isyarat apa yang beliau maksudkan dengan peralatan tani ini. Yang jelas, barang-barang itu bukan hiasan yang dimaksudkan untuk menambah keindahan pemandangan. Dalam dahar-nya (makan) sehari-hari, K.H. Hasani biasanya hanya cukup dengan nasi putih dengan lauk krupuk dan kecap. Makanan kesukaan beliau adalah kentang rebus diletakkan di piring kecil dan tempe mendol. Pada hari Senin, sehari sebelum wafat, Kondisi beliau semakin melemah. Dokter yang memeriksanya menganjurkan agar makan lebih banyak, tapi beliau beralasan bahwa sejak dulu beliau tidak pernah makan banyak. Akhirnya Dokter hanya menyarankan agar yang penting perut tetap ada isinya. Uniknya, Kiai malah memberi makan kucing piaraannya dengan ikan tongkol dan ikan-ikan yang biasanya menjadi lauk kebanyakan orang. Kiai memang suka memelihara hewan yang konon juga merupakan hewan piaraan kegemaran Abu Hurairah, Sahabat Nabi dan perawi hadits paling masyhur itu. Kucing-kucing yang terlantar dan sakit-sakitan beliau rawat dan dipeliharanya dengan baik sampai sehat dan gemuk. Kalau ada kucing yang mati maka beliau akan menguburkannya layaknya manusia. Suatu saat salah satu kucing piaraan beliau terlindas kendaraan salah satu keluarga. Lalu dikuburkan di suatu tempat. Ketika tahu kejadian tersebut, beliau langsung membongkar lagi kuburan kucing tersebut dan dipindahkan ke tempat penguburan kucing yang terletak di belakang dalem beliau. Dalam dawuhnya, Kiai Hasani menyatakan bahwa kucing merupakan nunutan beliau untuk masuk surga. “Kamu tidak punya dosa, Pus!” dawuh beliau suatu hari seperti berdialog dengan kucing kesayangannya. Memang, beliau sangat akrab dengan kesederhanaan itu. Hidup layaknya orang biasa sudah menjadi manhaj al-hayah bagi beliau. Berpakaian seperti lazimnya orang biasa. Sering terlihat memakai baju takwa hitam. Tidak suka memakai sorban seperti kebiasaan para ulama. Bahkan, beliau juga lebih suka memakai kopyah hitam dibanding kopyah putih. Itu semua merupakan manifestasi dari pandangan kesederhanaan dan kesukaan untuk hidup layaknya orang biasa. Kiai Hasani memang amat tidak suka memakai atribut jasmaniah para ulama. Beliau juga tidak senang diperlakukan istimewa. Pernah suatu ketika, beliau diundang menghadiri walimatul arusy salah seorang tokoh di Pasuruan. Di tempat yang disediakan untuk undangan para kiai, tertulis kalimat “Khusus Masyayikh”. Tahu ada tulisan semacam itu, Kiai Hasani yang kebetulan diundang dan hadir dalam acara tersebut tidak berkenan masuk. Apa kata beliau? “Aku bukan masyayikh”. Akhirnya tuan rumah melepas tulisan itu dan Kiai Hasani pun berkenan masuk. Konon, Kiai juga senang diundang ke Probolinggo karena di tempat itu beliau tidak di’istimewa’kan dari yang lain. Jika Kiai Hasani mau, bukannya beliau tidak bisa untuk hidup seperti lazim tokoh-tokoh lain. Dalam pembagian tirkah warisan setelah beliau wafat, uangnya banyak tercecer di mana-mana. Kadang di bawah kasur, di dalam kitab dan di tempat-tempat lain. . Ini merupakan sebuah cermin bahwa Kiai tidak pernah memasukkan urusan harta ke dalam pikirannya. Beliau tidak pernah menghitung berapa uang yang dimilikinya. “Jangan sampai kau ketahui uang yang masuk ke sakumu, agar kamu tidak bersandar pada uang,” ungkap beliau menyiratkan sebuah pandangan zuhdiyah-nya. Dulu, Kiai Hasani pernah titip modal kepada H. Makki, salah satu jutawan terkenal di Pamekasan Madura. Hal ini dimaksudkan beliau sebagai pemenuhan atas kewajiban berkasab bagi seorang muslim. Tapi, sampai akhir hayatnya Kiai Hasani tidak pernah menghiraukan uang itu lagi. Menjelang pembagian warisan, uang itu diserahkan oleh H. Makki kepada keluarga beliau di Sidogiri. “Al-Dun’ya dawa’,” dawuh Hadratussyekh. “Dunia adalah obat”. Kalimat singkat itu diperoleh beliau melalui mimpi. Syahdan, Kiai Hasani pernah bermimpi bertemu Soekarno (Presiden ke-1 Republik Indonesia). Dalam mimpi itu, Soekarno hanya menyampaikan kalimat “al-dun’ya dawa” kepada Kiai. Konon, mimpi yang sempat beliau tulis dalam manuskripnya itu, terjadi selama 21 kali. Awalnya K.H. Hasani tidak paham apa maksud dari kalimat tersebut. Lalu beliau menceritakan mimpi itu kepada kakak beliau Almaghfurlah K.H. Cholil Nawawie. Setelah berpikir cukup lama, K.H. Cholil bisa menjawab apa maksud dari kalimat “dunia adalah obat”. “Obat itu hanya digunakan jika keadaan sakit (betul-betul membutuhkan, begitu pula dunia,” jelas Kiai Cholil kepada Kiai Hasani. Mengenai hal itu, Kiai Hasani juga berdawuh: “Yang baik, obat itu apa kata dokternya. Tidak boleh overdosis.” Pandangan dan sikap hidup asketis itu memang telah beliau tampakkan semenjak muda. Tak ada tempat di hati untuk kesenangan duniawi. “Saya ingin tahu, seperti apa rasanya senang dunia itu?” dawuh beliau suatu ketika. Begitulah Kiai Hasani, selalu memelihara kelarasan antara dawuh dan perilaku. Kekentalannya dengan sufisme tidak hanya terejawantahkan dalam kata-kata, tapi juga pola hidupnya sehari-hari. Oleh kerena itu, beliau sering mewanti-wanti bahwa sekarang ini yang terpenting bagi kita adalah mengamalkan ilmu. “Kalau dulu memang dibutuhkan orang-orang alim, sekarang sudah tidak perlu lagi. Semuanya sudah alim-alim. Kita hanya perlu menyelamatkan diri,” tegas Hadratussyekh. Ulama memang telah begitu banyak. Lalu, sebanyak itukah orang yang bermoral ulama? Sufisme telah menjadi kajian luas: di majelis ta‘lim, seminar, halaqah, dan mimbar-mimbar kuliah. Buku-buku tentang tasawuf membanjiri toko-toko. Lantas, seluas itukah nilai-nilai sufisme itu telah diterapkan? Kiai Hasani seperti mengkritik itu semua: “al-Ilm al-yawm mazhlum,” dawuh beliau penuh kecewa. Saat ini, ilmu pengetahuan (terutama pengetahuan agama) memang telah menjadi korban. Pandangan kritis itu tidak hanya ditunjukkan Kiai Hasani untuk para ulama dan cendekiawan. Dalam pandangan beliau, orang-orang yang melaksanakan ibadah pun sekarang banyak yang maghrur, terjerumus dalam lembah kedunguan. Setelah naik haji pada tahun 1958, beliau enggan untuk naik haji lagi. Hadratussyekh begitu prihatin melihat Baitullah itu sekarang. Begitu banyak munkarat di situ. Padahal kita mesti ekstra hati-hati di Tanah Suci itu. Tanah Haram tidak bisa dibuat sembarangan. Mengenai ibadah, Kiai Hasani memberi penekanan utama pada sisi makna. Ibadah bukan cuma urusan ritual badaniah belaka, tapi berintisari pada pemaknaan hati. Oleh karena itu, beliau lebih suka melakukan ibadah yang dirasanya sebagai hal berat. Di situ ada upaya menundukkan hati kepada Ilahi. Mengatur gerak hati memang lebih berat dibanding aktivitas jasmaniah. Ini terutama menyangkut keikhlasan dan gerak kalbu yang lain. “Lebih berat maksiatnya hati dari pada maksiatnya badan,” dawuh beliau. Menjadikan gerak kalbu sebagai esensi segala aktivitas merupakan pandangan yang diperkenalkan kalangan sufi. Kendati demikian, Kiai Hasani sangat kukuh dan tegas memegang norma-norma ritual sebuah ibadah. Beliau amat tegas dengan kebenaran tatalaksana shalat menurut aturan fiqh, begitu pula dalam ibadah-ibadah lain. Bahkan, sampai masalah adzan pun beliau mempunyai perhatian amat serius. Sampai sekarang, adzan di Mesjid Sidogiri tidak pernah berlagu. Kiai Hasani marah jika adzan dilakukan berlagu. Memang, pada aspek tatakrama, adzan berlagu hanya mementingkan dominasi seni serta telah kehilangan makna panggilannya menghadap Allah. Persis seperti umumnya para sufi, K.H. Hasani sejak lama merindukan mati, sebuah keinginan yang tidak wajar dalam pikiran orang yang belum merasakan betapa sesak dunia ini dan betapa indah bertemu dengan Sang Rabb. Kerinduan itu sering beliau ungkapkan, terutama menjelang hari wafatnya. Apa yang menguntungkan dari mati? ”Kalau orang baik pendek umur, ia cepat ketemu kebaikannya. Kalau orang yang jelek pendek umur, ia cepat putus dari kejelekannya agar tidak banyak dosanya,” dawuh Hadratussyekh membangun logika dari pandangannya. Jika ada tamu, Kiai Hasani selalu mengantarkan sendiri suguhannya. Beliau juga sangat sedih jika banyak tamu, khawatir tidak bisa menghormati mereka dengan layak. Etiket sufisme lain yang juga sudah begitu melekat pada Kiai Hasani adalah melestarikan ajaran khumul. Dalam kamus sufi, khumul berarti tidak mau dikenal orang (tentang keistimewaan dirinya). Dalam tuntunan tasawuf Ibnu Atha’ al-Sakandari ajaran ‘tidak suka tampil’ itu dimaksudkan sebagai langkah penyelamatan bagi seorang yang menjalani kehidupan sufi agar tidak terjerumus oleh popularitas dan ketenaran. “Sing enak saiki iki mastur,” dawuh Kiai kepada K.H. A. Nawawi bin Abdul DJalil, keponakannya. Memang, khumul seperti telah menjadi filosofi baku, tidak hanya bagi Kiai Hasani tapi juga Sidogiri. Pondok pesantren yang sudah berusia 256 tahun itu seperti besar dalam ketersembunyian: tidak pernah menyebar brosur atau jenis promosi lain, bahkan memasang plakat pun bagi Sidogiri terkesan tabu. Kiai Hasani Nawawi: Perjuangan Mendidik Generasi
Mendidik Masyarakat dengan Uswah Tak ada Kiai Hasani, Sidogiri seperti kehilangan urat nadi. “Kiai Hasani wafat, siapa lagi yang punya perhatian penuh pada shalat,” kalimat itu kerap terdengar dari santri Sidogiri pasca wafatnya Hadratussyekh K.H. Hasani Nawawie. Memang, selama dasawarsa terakhir, Sidogiri memiliki komitmen pendidikan shalat yang luar biasa. Upaya pendidikan shalat bagi santri digalakkan sedemikian rupa. Bahkan, semenjak dua tahun yang terakhir, Sidogiri menetapkan lulus ujian shalat sebagai syarat kenaikan kelas di madrasah. Komitmen yang luar biasa hebat ini merupakan buah perhatian ekstra Kiai Hasani terhadap shalat santri. Dalam dawuhnya, beliau menyatakan bahwa shalat merupakan standar keberhasilan pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri. Shalat santri baik, berarti pendidikan berhasil; shalat santri jelek, berarti pendidikan gagal. K.H. Hasani memang lebih sering memerankan sebagai sosok yang mengerem langkah Pesantren Sidogiri agar tidak bergeser dari visi semula: ingin mencetak ‘ibad Allah al-shalihin. Beliau adalah supervisor, penyelia segenap komponen pesantren yang sedang berproses. Tugas ini beliau akui sebagai beban yang mahaberat, soalnya menyangkut tanggung jawab di hadapan Allah. Tugas mahaberat ini sejalan dengan pandangan beliau bahwa pesantren merupakan lembaga yang ussisa ‘ala al-taqwa, dibangun dan berdiri atas dasar takwa kepada Allah. Jadi, bagaimanapun dan kemanapun pesantren ini melangkah, takwa tetap harus menjadi oreintasi dasar. Hal tersebut betul-betul membuat Kiai Hasani tidak bisa tenang, terutama ketika menyaksikan ibadah santri. Di dalem, Kiai kadang berdiri sampai berjam-jam menghadap ke mesjid. Beliau memperhatikan dengan seksama santri yang sedang melakukan shalat. Kiai memang mempunyai keprihatinan yang mendalam melihat shalat santri belakangan ini. Kiai menjalankan kontrol penuh terhadap mesjid. Sampai sekarang pun, dalemnya yang terletak bersebelahan dengan mesjid itu seperti menjadi pengawas bisu bagi santri yang masuk ke mesjid. Mereka terlihat amat hati-hati berada di mesjid ini, terutama ketika Hadratussyekh masih hidup. Menyaksikan mesjid Sidogiri akan terlihat aktivitas ibadah yang berlangsung tertib. Mesjid selalu ramai dengan lalulalang santri yang hendak, usai, atau sedang melaksanakan ibadah. Bangunan tua itu memang padat dengan aktivitas dalam 24 jam. Tapi, semuanya berjalan tenang dan tertib. Ini semua buah kontrol ketat Kiai Hasani terhadap tempat ibadah itu. Kontrol penuh K.H. Hasani atas mesjid itu memang terbukti efektif bagi pembangunan semangat ibadah bagi santri Sidogiri. Kiai Hasani sangat tidak suka jika tempat ibadah itu dicampuri dengan hal-hal yang bisa merusak makna ketertundukan terhadap sang Maha Pencipta. Setiap kali ada hal-hal yang mengurangi kesopanan terhadap tempat suci ini, Hadratussyekh mesti memberi respon kontrolnya, minimal dalam bentuk teguran kepada orang yang dipasrahi untuk menjaga ketertiban ibadah di mesjid. Beliau sering memberi teguran jika terjadi keramaian yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Peringatan yang sering beliau sampaikan kepada santri menjadi kontrol efektif bagi mereka untuk tidak berlaku urakan dan keterlaluan dalam bergurau dan mengekspresikan sesuatu. Kontrol itu sangat melekat pada jiwa masing-masing santri. Saking lekatnya kontrol dari Hadratussyekh ini, setiap terjadi keramaian, satu kata “dalem” betul-betul ampuh untuk membuat mereka diam dan tenang kembali. Pada aspek apapun, Dalam segala hal, K.H. Hasani menekankan pentingnya keseriusan. Pada aspek apapun Kiai berpegang pada prinsip falyadhaku qalila walyabku katsira, perbanyak menangis dibanding tertawa. Prinsip tersebut merupakan prinsip dasar yang diajarkan al-Qur’an sebagai pandangan hidup bagi setiap muslim. Sebagai pemangku utama Pondok Pesantren Sidogiri, peran K.H. Hasani dalam menjaga keseimbangan arus pesantren agar tidak bergeser dari prinsip al-Salaf al-Shalihin betul-betul vital. Beliau menitikkan perhatiannya pada pembentukan haliyah, perilaku dan moral santri. Ini adalah bagian dari pandangan dan komitmen beliau yang luar biasa: bahwa santri merupakan tanggung jawab mahaberat dun’ya wa ukhra. 
 
Kiai Hasani: uswah sebagai strategi dakwah

Beliau memang sosok sufi, zuhud dan tidak menyukai kehidupan materialistik. Sebagai sosok dengan komitmen relegius yang kental, tak bisa dibayangkan betapa kecewa beliau melihat ‘jaman’ ini. Ya, k...
ekecewaan itu memang sering diungkapkan beliau. Bahkan, berbagai manuskrip, maqalah dan pandangan-pandangannya kerapkali menumpahkan kekecewaan yang mendalam itu.

Anehnya, kekecewaan itu tidak membuat beliau lebih suka berada di menara gading dan menghabiskan hari-harinya dengan menikmati munajat kepada Allah di hamparan sunyi. Pandangan hidupnya yang zuhud tidak membawa beliau untuk menyepi, menjauh dari khalayak.

Kiai Hasani suka berbaur dengan masyarakat sekitar. Kerap berkumpul di tengah-tengah mereka untuk sekedar bincang-bincang, kadang juga di warung-warung. “Kalau kiainya warung dan kiainya kucing, tanyakan saya,” dawuh beliau suatu ketika. Detik-detik persentuhan dengan masyarakat itulah yang kerap digunakan Hadratussyekh untuk menaburkan ajaran Islam dari pikiran ke pikiran.

Kedekatannya dengan masyarakat akar rumput membuat mereka merasa amat kehilangan atas kemangkatan Kiai Hasani. “Kiai Hasani wafat, siapa lagi yang akan dekat dengan masyarakat,” ujar salah seorang penduduk desa. Kiai Hasani selalu hadir jika diundang masyarakat, baik untuk walimah atau acara-acara selamatan lain. Bahkan beliau selalu hadir tepat waktu, meskipun undangan lain masih belum datang. “Jika diundang jam tujuh, beliau datangnya pas jam tujuh. Kadang tuan rumahnya pun waktu itu masih belum persiapan,” cerita salah satu sumber.

Dalam dakwahnya kepada masyarakat luas, Kiai Hasani lebih mengutamakan aksi dibanding retorika. Selama hidupnya, Hadratussyekh tidak pernah tampil memberi ceramah maupun pengajian di depan publik. Beliau berdakwah dari pintu ke pintu; dari orang ke orang. Naluri dakwah semacam inilah yang membuat masyarakat merasa bahwa Kiai Hasani begitu dekat dengan mereka. “Mereka tidak salah. Yang salah itu kamu dan aku. Mereka tidak mengerti, tidak mendengar dakwah Islam,” dawuh Kiai kepada Mas Abdullah Syaukah, keponakannya.

Kiai Hasani memang sosok ulama yang mempunyai kepedulian sosial amat tinggi. Kiai memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat bawah, juga merasakan penderitaan mereka. Hal ini misalnya tercermin dari sikap tenggang rasa yang beliau tampakkan untuk kalangan bawah itu. Naik becak dari lapangan Sidogiri ke dalemnya saja (sekitar 200 meter), Kiai memberi ongkos dari Rp. 20 ribu sampai Rp. 50 ribu. Suatu ketika salah satu keponakannya yang menyaksikan hal tersebut bertanya: “Apa tidak terlalu banyak, Kiai?” Apa dawuh Kiai Hasani? “Kalau aku disuruh nyetir becak itu dari lapangan ke sini, diberi uang segitu pun aku tidak mau,” jawab beliau. Dawuh semacam itu timbul dari kepedulian dan tenggang rasa yang mendalam terhadap penderitaan kalangan bawah.

Kiai begitu memahami keadaan masyarakat bawah. Dalam membimbing mereka menuju kebenaran, beliau lebih mengutamakan langkah memberi teladan. Segala segi dari pola hidup yang beliau jalani merupakan bagian dari bimbingan melalui haliyah itu. “Sebetulnya, sekarang pun aku mampu membeli mobil Mercedes keluaran terbaru. Tapi, aku takut masyarakat mempunyai pemahaman keliru bahwa menjadi kiai itu enak. Lalu mereka memondokkan anaknya ke pesantren biar jadi kiai dan hidupnya enak,” dawuh beliau mengungkapkan visi dakwahnya kepada salah seorang guru Sidogiri.

Kiai memang terkenal sebagai sosok ulama yang selalu menjaga kemanunggalan kata dan sikap. Semua yang beliau katakan, selalu beliau laksanakan. Dalam berdakwah, beliau mesti memulai dari diri sendiri. Dalam bahasa K.H. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), Kiai Hasani adalah ulama yang alim amaliyah dan amil ilmiyah. Hal tersebut diungkapkan K.H. Hasyim saat memberi sambutan dalam selamatan 40 hari wafatnya Hadratussyekh.

“Saat ini, kita amat terpukul dengan kepergian Kiai Hasani. Tapi hal itu tidak cukup. Yang terpenting bagi kita setelah ini adalah meneladani kehidupan yang telah dicontohkan beliau,” ungkap salah satu ulama dalam kalimat belasungkawanya di hadapan kaum muslimin ketika akan melaksanakan shalat jenazah yang ke-8 untuk al-Maghfurlah K.H. Hasani.

Kiai Hasani adalah sosok yang netral. Dalam berdakwah, beliau tidak pernah membeda-bedakan orang. Siapapun orangnya, kalau ia memiliki visi dakwah yang sama, maka akan beliau dekati. K.H. Hasani tidak pernah mempermasalahkan dari kelompok mana ia. Dalam aksi dakwah dan pemberdayaan umat, baju sektarianisme mesti harus disingkirkan. Yang terpenting bagi K.H. Hasani orang itu adalah muslim yang taat beragama.

Dalam hidupnya, selain dikenal dekat dengan sejumlah ulama dari kalangan NU, K.H. Hasani juga dekat dengan ulama-ulama yang terkenal sebagai tokoh Syi’ah, seperti Habib Husein al-Habsyi (YAPI Bangil) dan Habib Husein al-Habsyi (Malang). Kedua tokoh tersebut memang dikenal sebagai ulama yang amat concern dengan dakwah Islam dan pemberdayaan umat.

Tidak ada kamus fanatik terhadap figur tertentu bagi K.H. Hasani. Standar tunggalnya adalah visi dan ketaatannya dalam beragama. Pernah suatu ketika ada acara Peringatan Tahun Baru Islam yang diselenggarakan GP Ansor di lapangan Sidogiri. Penceramah dalam acara tersebut adalah Habib Muhsin Alatas. Sehabis acara, Muhsin Alatas berniat sowan kepada al-Maghfurlah K.H. Hasani. Ia minta tolong kepada Sudirman (kawan dekat Mas Fuad Noerhasan, keponakan K.H. Hasani) untuk menyampaikan maksudnya kepada beliau.

dengan habib tersebut, karena dikiranya adalah Habib Husein al-Habsyi Malang. Seperti telah menjadi berita hangat di berbagai media, saat itu Habib Husein terlibat dalam percaturan politik yang memanas. Ia memberi statemen akan menghadang Banser dengan pasukan Ikhwanul Muslimin. Statemen ini nyaris mengakibatkan perpecahan antara sesama umat Islam. Ia juga sering berkomentar kepada sesama muslimnya dengan nada cacian (tentang Gusdur misalnya). K.H. Hasani tidak suka dengan sikap Habib Husein itu kendati sebelumnya beliau cukup dekat. Kiai menolak untuk bertemu dengannya. Ketika dijelaskan bahwa yang akan sowan bukan Habib Husein, tapi Habib Muhsin Kiai Hasani bersedia menerimanya.

Kiai Hasani memang tidak suka dunia politik. Selama hidupnya, beliau tidak pernah mendukung partai apapun di Indonesia. Tapi jika perseteruan politik mengakibatkan pecahnya umat, maka Kiai akan peduli untuk mempersatukan kembali.

Saat di Pasuruan terjadi aksi dukung mendukung atas pemberhentian Bupati Dade Angga, silaturrahim K.H. Hasani ke Bupati dapat meredam gejolak massa yang hampir mengakibatkan suasana chaos di kota santri ini. Ketika suasana Pasuruan sedang dalam keruh-keruhnya karena demonstrasi massa mendesak Dade Angga mundur, Hadratussyekh berkunjung ke Pendapa Kota Pasuruan. Kunjungan Kiai itu sebagai silaturrahim biasa. Sebelumnya, Bupati bersilaturrahim ke dalemnya, kemudian ganti beliau bersilaturrahim ke Bupati.


  • Kiai Hasani: Pandangan dan Visi
    Dukungan Penuh atas Pancasila
    Jika teliti, anda akan menangkap sebuah pemandangan aneh di pintu gerbang Pondok Pesantren Sidogiri. Di pintu masuk timur tepat di sebelah barat jalan, anda akan disambut ukiran... Burung Garuda. Lambang Republik Indonesia tersebut diukir di tembok sebelah kiri gerbang. Di bawahnya, tertera butir-butir Pancasila. Tak ada gambar dan tulisan lain selain itu, termasuk petunjuk bahwa gerbang itu adalah pintu masuk ke Pondok Pesantren Sidogiri.

    Ada apa gerangan dengan gerbang Sidogiri? Konon, ukiran Burung Garuda dan butir-butir Pancasila itu dibuat atas instruksi dari Hadratussyekh K.H. Hasani. Tidak diketahui pasti semenjak kapan. Namun dari wajah gambar, tampak bahwa ukiran tersebut sudah berusia puluhan tahun.

    Tak heran, Hadratussyekh menginstruksikan membuat gambar itu di pintu gerbang. Jika anda membaca manuskrip Kiai yang disebar Keluarga beberapa puluh hari setelah wafatnya, anda pasti bisa meraba-raba apa maksud beliau dengan gambar itu.
    Kiai Hasani, seperti yang banyak beliau tulis dalam manuskripnya, merupakan tokoh yang memiliki kekaguman luar biasa dengan butir demi butir Pancasila. Butir-butir itu searah dengan pemikiran beliau, tapi dalam penafsiran yang berbeda dengan yang dimiliki orang pada lazimnya. Perbedaan penafsiran itu terletak pada sila Ketuhanan yang Maha Esa.
    Dengan tegas Kiai Hasani menyatakan bahwa sila pertama ini hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak dengan agama-agama lain. Logikanya, dengan sila ini semua agama tidak berhak untuk hidup di Indonesia karena tidak sesuai dengan dasar negara.
    Apa yang beliau ungkapkan tentang tafsir sila ini tidak hanya sekedar apologia. Kiai Hasani membangun sebuah argumentasi teologis yang mapan. Beliau mengurut arti kata “esa” dari langgam teologi: bahwa pada titik makna dasarnya keesaan itu hanya sesuai dengan akidah Islam.
    Argumentasi yang beliau bangun tentang kemanunggalan sila pertama dengan akidah Islam berujung pada kesimpulan bahwa sila tersebut mengandung dua unsur pokok. Pertama, kepercayaan akan eksistensi Tuhan (i‘tiraf al-uluhiyah); kedua, kepercayaan akan keesaan Tuhan (i‘tiraf al-wahdaniyah). Dengan unsur pertama, dasar negara tersebut menolak komunisme-ateisme; sedang unsur kedua menolak akidah agama selain Islam.
    Konsekwensi dari sila tersebut adalah bahwa Republik Indonesia harus menyesuaikan segala haluan, kebijakan dan undang-undangnya dengan ajaran Islam, karena ideologi negaranya hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak agama lain.
    Sebagai dasar negara tentu hal tersebut harus betul-betul ditegakkan di Indonesia. Kiai Hasanimenyerukan agar kaum muslimin betul-betul memperjuangkan Pancasila, dalam arti bahwa “al-hukm bima anzal-Allah” harus berlaku di Bumi Pertiwi ini.
    Dalam pandangan K.H. Hasani Nawawie, kemanunggalan ajaran Islam dengan Pancasila juga terbentuk melalui sila kedua (Keadilan Sosial). Jika sila pertama mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan vertikal dengan Allah, maka sila kedua mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan horizontal antara hamba dan hamba.
    Visi umum ajaran Islam hanya ada dua: al-qiyam bi haqq al-Haqq dan al-qiyam bi haqq al-khalq. Pertama, melaksanakan kewajiban terkait dengan Sang Pencipta; kedua, melaksanakan tanggungjawab terkait dengan makhluk Sang Pencipta. Kedua visi itu dipresentasikan seluruhnya oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Keadilan Sosial.
    K.H. Hasani Nawawie: Visi Keumatan
    Menjelang Pemilu tahun 1997, Sidogiri terlibat dalam sebuah polemik di majalah Editor. Adalah Ustadz H. Mahmud Ali Zain yang menjadi jubir Sidogiri ketika itu. Apa yang katanya tentang pemilu? “Berpartai hukumnya haram”.
    Ada apa Sidogiri dengan pernyataan yang menyentak publik itu?
    Penegasan itu datang dari K.H. Hasani Nawawie. Tak ada hal lain yang mendorong Kiai menegaskan hal itu kecuali ghirah dan keprihatinan yang sangat kuat melihat fenomena umat. Begitu mudah persatuan umat tercabik-cabik hanya karena fanatisme yang dihembuskan oleh kalangan partai. Urusan partai betul-betul telah membuat umat ini berada pada pertikaian yang tak tentu ujungnya. Bahkan, kerapkali tokoh umatnya sendiri yang menjadi motor pertikaian itu. Melihat kenyataan bahwa berpartai mengandung potensi sangat kuat dalam tafriq al-jama‘ah (memecahbelah umat), K.H. Hasani mengharamkan berpartai itu. Masalah berpartai merupakan sarana untuk tanshib al-imamah (memilih pemimpin), maka masih ada berpartai bukan satu-satunya cara untuk memilih pemimpin itu.
    Bagaimanapun, kata Kiai Hasani, orang berpartai akan menumbuh ta‘ashhub (fanatisme) dalam hatinya. Ia akan membela partainya tanpa melihat apakah partai itu patuh pada syari’at atau tidak.
    Fanatisme partai sudah sedemikian lama menjadi penyakit yang menggilas semangat ukhuwah. Politik dan berpartai merupakan motif utama konflik umat secara massal. K.H. Hasani tak kuasa melihat fenomena ini. Pertikaian umat betul-betul menyesakkan ruang dada beliau. “Bagaimana aku akan bertanggung jawab di akhirat terhadap santri-santri Sidogiri yang ikut partai ini dan itu, kemudian saling bertengkar,” dawuhnya suatu ketika kepada H. Thayyib (Ketua Yayasan STIE Malangkucecwara), sahabat dekat beliau.
    K.H. Hasani memang sangat konsisten dengan pandangan-pandangan tentang persatuan umat. Tak ada kamus fanatisme terhadap madzhab dan golongan tertentu bagi beliau. Yang terpenting adalah Islam dan berperilaku Islami, bukan golongan ini dan golongan itu atau madzhab ini dan madzhab itu.
    Solidaritas Islam begitu mengakar pada pandangan dan langkah-langkah beliau. Kiai paling tidak bisa menerima jika melihat umat Islam ditindas. L.B. Moerdani (Panglima ABRI di masa Soeharto) adalah orang yang sangat dibencinya. Moerdani merupakan tokoh utama di balik pembantaian ratusan umat Islam di Tanjung Priok. Di kalangan aktivis pembela Islam, Moerdani dikenal sebagai Panglima Salibis. Hal itu disebabkan karena sikap kerasnya dalam memusuhi umat Islam dan membela umat Kristen. “Membawa bom, lalu salaman dengan Moedani, kemudian mati bersama itu bukan mati bunuh diri, tapi mati syahid,” dawuh beliau.
    NEXT>>>See More January 2 at 8:42am · LikeUnlike · 1


  • Nashihuddin Asy'ary

    Santri dan Pesantren : Sebuah Predikat Moral

    SANTRI. Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, adalah orang yang berpegang teguh pada Alqur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan... kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Allah yang maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya.


    Mirip sebuah prasasti, kalimat tersebut terpampang besar di bagian depan asrama “J” Pondok Pesantren Sidogiri. Terukir di tembok seluas kira-kira 7×2 meter, berwarna putih dengan latar belakang hijau. Di sebelah atas tercantum redaksi aslinya dalam bahasa Arab di bawah judul al-Santri.

    Ukiran itu dibuat sekitar 11 tahun yang lalu. Kalimatnya disusun oleh Almaghfurlah K.H. Hasani Nawawie pada tahun 1972. Sejak semula kalimat tersebut dijadikan sebagai asas dasar Pondok Pesantren Sidogiri. Santri yang mondok di situ pasti hafal luar kepala. Bagi mereka, menghafal kalimat itu sama artinya dengan membaca prinsip hidup dan jati dirinya sendiri.
    Pandangan K.H. Hasani tentang santri dan pesantren, setidaknya, telah dicurahkan dalam beberapa kalimat itu. Dalam kemasan “ta’rif santri” tersebut, Kiai Hasani mempertegas bahwa kata “santri” adalah murni sebagai predikat moral. Santri, bukanlah nama dari sebuah komunitas tertentu atau kelompok dengan budaya tertentu, tapi murni sebagai predikat dari sebuah ketaatan beragama.
    Ada dua hal pokok yang disebut K.H. Hasani dalam ta’rif santri itu: ketaatan pada garis agama serta prinsip tegas dan perilaku yang lurus. Dan, persis seperti apa yang dikemukakannya tentang santri, beliau juga memberi arti pesantren, murni dalam sebuah predikat moral keagamaan. Menurut K.H. Hasani, pesantren adalah lembaga yang berdiri atas dasar takwa kepada kepada Allah atau menjadikan ketaatan beragama sebagai pijak dasarnya (ussisa ‘ala al-taqwa).
    Dalam memandang segala sesuatu (terutama masalah agama), K.H. Hasani memang selalu bertumpu pada substansi dan prinsip keagamaan. Jika prinsip dan substansinya sudah benar, beliau tak pernah menghiraukan lagi siapa dan dari kelompok mana. Hal ini selalu beliau tampakkan dalam setiap langkah-langkahnya, baik dalam berdakwah, membangun ukhuwah, maupun dalam kehidupannya sehari-hari.
    Kiai Hasani dan Kritik Sosial
    Pandangannya yang lurus dan tak kenal kompromi membuat K.H. Hasani disegani ulama-ulama lain. Beliau memang putera ulama besar, tapi yang membuatnya disegani adalah sikap dan pandangannya yang lurus serta tegas.
    Kiai Hasani memang tak segan-segan menegor siapa saja yang dianggapnya tidak mengindahkan ajaran agama, tak terkecuali dia itu tokoh besar atau mempunyai pengaruh luas. Dalam menyikapi sesuatu, beliau selalu teliti dan kritis. Kritik-kritik beliau lebih banyak ditunjukkan untuk para pengemban ilmu pengetahuan, baik santri, pelajar, maupun ulama, dibanding yang lain.
    Menyikapi kerusakan moral di masyarakat, Kiai Hasani tidak terlalu menyalahkan mereka. Beliau melihat hal ini sebagai kesalahan para pengemban dakwah Islam. “Mereka tidak salah, yang salah itu kamu dan saya,” dawuhnya.
    Rusaknya moral umat bersumber dari rusaknya moral para ulama. Begitulah salah satu inti dari tulisan beliau dalam beberapa manuskripnya. Menurutnya, seperti ditegaskan Rasulullah, komponen yang paling menentukan baik-buruknya umat ada 2, yaitu ulama (kaum cendekiawan) dan umara (kaum birokrat).
    Kerusakan moral masyarakat merupakan akibat dari bobroknya moral para penguasa (birokrat). Kebobrokan penguasa, disebabkan karena tidak becusnya para ulama. Begitulah Kiai Hasani mengurai sumber utama kebobrokan ini. Dalam pandangan beliau, ulama saat ini telah banyak yang tergila-gila pada harta dan kedudukan (hubb al-jah wa al-mal).
    Kritik keras juga beliau alamatkan kepada para pelajar dan santri. Dalam hal ini, yang menjadi bidikan utama beliau adalah kebiasaan tidak serius dalam mencari ilmu. Tertawa dan kegaduhan yang tidak perlu telah menjadi kebiasaan yang telah melekat di tempat belajar dan majlis al-ilm. Kebiasaan tidak serius ini amat disayangkan Hadlratussyekh. Dalam sebuah manuskripnya beliau bercerita tentang suasana belajar di majelis pengajiannya al-A‘masy. Suatu ketika, seorang murid al-A‘masy tertawa saat berlangsungnya pengajian. Syahdan, al-A‘masy menindaknya dan menyuruhnya berdiri. “Engkau mencari ilmu yang telah di-taklif-kan Allah kepadamu, sedang engkau tertawa,” kata al-A‘masy memarahinya. Setelah itu al-A‘masy tidak menyapa murid itu selama 2 bulan.
    Dalam Semalam, Istiqamah Bangun Lima Kali
    Anak adalah buah hati. Keturunan berarti kelangsungan sejarah bagi seseorang. Tiada anak, hambarlah kehidupan rumah tangga. Tapi, tidak dengan K.H. Hasani Nawawie. Kiai yang menghabiskan hidupnya dengan lakon zuhud ini malah tidak ingin punya anak. “Saya ini sudah anak, anaknya Kiai Nawawie Sidogiri. Jadinya seperti ini. Kalau saya punya anak, jadinya seperti apa. Sedang antara saya dan Abah bayna al-sama’ wa al-sumur (antara tingginya langit dan dalamnya sumur),” dawuhnya.
    Filosofi yang dipegang Kiai Hasani tentang “anak” memang tidak seperti filosofi yang dipegang orang pada umumnya. Beliau memandang keturunan tidak dalam bentuk kuantitas, tapi murni pada kualitas kesalehannya di hadapan Sang Pencipta. Dan, Hadlratussyekh, sampai akhir hayatnya, tidak mempunyai seorang putera pun. Beliau hanya mempunyai dua putera angkat, Yaitu Mas Abdul Bari dan Mas Anshori (Putera Nyai Sholihah, isteri Kiai Hasani yang ketiga).
    K.H. Hasani beristeri tiga kali. Dari ketiga isterinya itu, beliau tidak menurunkan putera sama sekali. Isteri pertama beliau adalah Ibu Nyai Zubaidah. Tidak begitu lama berkeluarga dengan Ibu Nyai Zubaidah, Kiai Hasani men-firaq-nya. Beliau kemudian berkeluarga dengan Ibu Nyai Lilik, puteri K.H. Zaini Rembang. Namun, tidak lama juga beliau men-firaq-nya. Yang terakhir beliau berkeluarga dengan Ibu Nyai Sholihah. Ibu Nyai Shalihah berasal dari Malang. Beliau adalah janda dengan putera 7 orang. Puteranya yang ikut ke Sidogiri hanya 2 orang, yaitu, Mas Abdul Barri dan Mas Anshori.
    Kiai Hasani mempunyai perhatian penuh terutama pada sisi moral. Nuansa zuhud dan sufi tidak hanya kental pada diri beliau semata, tapi juga segenap keluarganya. “Kamu mau saya jadikan apa saja ikutlah!” dawuh beliau kepada Mas Abdul Barri, salah satu putera angkatnya.
    Disiplin ajaran Islam betul-betul beliau terapkan pada keluarganya. K.H. melarang keras keluarganya keluar tanpa disertai mahram. Wanita yang bukan mahram tidak boleh masuk ke dalemnya. Beliau juga melarang televisi bagi keluarganya. Dalam pandangan Kiai Hasani, televisi banyak mudharat-nya dalam pembentukan moral. “Meskipun thariqat kalau masih ngingu (punya) TV, itu thariqat gendeng,” dawuh beliau mengometari media hiburan plus informasi itu.
    Sehari-hari beliau menekankan pentingnya shalat berjamaah bagi keluarganya. Beliau sendiri, sejak masih belum baligh tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah. Dan, Kiai lebih suka melaksanakan shalat jamaah di dalemnya daripada di mesjid. Konon, beliau tidak betah shalat di mesjid yang sehari-hari ramai dengan aktivitas ibadah santri itu. Kiai Hasani tidak tahan melihat ibadah santri, yang menurut beliau, tidak karuan. “Kalau aku shalat di mesjid, marah-marah nanti,” dawuhnya.
    NEXT>>>See More January 2 at 8:43am · LikeUnlike · 1


  • Nashihuddin Asy'ary

    K.H. Hasani melalui hari-harinya dengan lakon yang amat berat. Anjuran tasawuf tentang “perbanyak menangis daripada tertawa” betul-betul beliau laksanakan. Hari-harinya beliau lalui dengan perasaan susah, terutama ketika ada hujan, petir da...
    n banjir. Hal ini beliau lakukan sebagai kiat untuk menjaga hati agar selalu mengingat Allah. Bahkan, jika merasa gembira beliau memaksakan diri untuk susah. “Hati yang dibuat susah, meskipun karena urusan dunia, baik untuk hati tersebut. Sebaliknya, jika dibuat gembira, meskipun karena akhirat itu justru tidak baik untuk hati itu”. Begitulah prinsip beliau.

    Setiap malam, Kiai Hasani istiqamah bangun dalam setiap jam. Dalam semalam Kiai bangun sebanyak 5 kali, mulai jam 11.00 malam sampai jam 3.00 dini hari. Setiap selesai shalat Isya, beliau beristirahat sampai jam 11.00 malam. Kemudian bangun dan berwudlu’, lalu membaca surah Al-Fatihah. Setelah itu, beliau istirahat lagi. Pukul 12.00 malam, beliau bangun dan melakukan hal yang sama. Begitu juga pada pukul 1.00 dini hari. Pukul 2.00 beliau bangun lagi, berwudlu’, membaca surah Al-Fatihah lalu bertafakkur sebentar kemudian istirahat kembali. Pukul 3.00, beliau bangun dan terus melakukan ibadah sampai subuh tiba.

    Dalam ibadah Kiai Hasani lebih senang mengerjakan yang dianggapnya paling berat. Beliau suka ber-mujahadah. Ning Hikmah (keponakannya) pernah bercerita mengenai CD al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab lain kepada beliau. Dengan CD, seseorang dapat dengan mudah mencari data-data yang diperlukan. Tapi, Kiai Hasani menyatakan tidak suka dengan kemudahan-kemudahan dari produksi teknologi tersebut. “Aku gak seneng, kurang ganjarane” (Aku tidak suka, karena kurang pahalanya), jawab beliau.
    Selain tegas serta kukuh dalam menegakkan dan melaksanakan ajaran Islam, Kiai Hasani juga sangat syafaqah dan penyayang. Rasa syafaqah-nya yang mendalam tidak hanya beliau tunjukkan untuk sesama manusia, tapi juga kepada makhluk Allah yang lain. Beliau menyayangi binatang-binatang. Beliau tidak pernah memberi makan kucing di dalemnya dengan ikan yang masih ada tulangnya. Ikan yang mau diberikan kepada kucingnya mesti dibuang tulangnya dulu. Ayamnya pun diberi makan roti. “Meskipun semut, itupun juga makhluk Allah,” kata beliau.
    Kiai juga terkenal telaten dalam mengajar. Dulu, Kiai Hasani mengadakan pengajian khusus untuk keponakan-keponakannya. Pengajian itu dilaksanakan di dalem Ibu Nyai Hanifah (saudari beliau). Beliau sangat telaten mengajar keponakan-keponakannya itu. Sampai-sampai ada seorang keponakannya yang tidak bisa menulis karena sering dituliskan oleh beliau.

  • 10 hari sebelum wafat,
    KH Hasani Nawawy Bermimpi Didatangi Imam al-Ghazali
    Ribuan orang berjubel di komplek pesarean (makam) Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri. Komplek pemakaman yang terletak di belakang mesjid, sebelah barat mihrab itu,... tampak penuh dengan orang-orang yang ingin memberikan penghormatan terakhir untuk KH. Hasani Nawawie. Sebagian besar datang dari jauh, bukan masyarakat setempat. Wajah-wajah mereka terlihat muram. Berduka. Tak ada tawa. Di sebelah barat komplek pemakaman dengan luas sekitar 50 meter persegi ini, terlihat wanita-wanita berdesakan meraih satir untuk melihat prosesi pemakaman dari atas tirai terpal itu.

    Di sekitar pagar, tampak petugas dari satuan Banser sibuk mencegah orang-orang yang merengsek ke pagar. Mereka ingin masuk ke dalam kompleks agar dapat mengekspresikan penghormatan terakhirnya secara langsung. Di dalam pagar, tampak Keluarga, tokoh-tokoh dan orang-orang yang sibuk mempersiapkan pemakaman.

    Sementara itu di luar komplek pemakaman, terdengar gaduh. Masyarakat berebut ikut memikul keranda jenazah Kiai Hasani Nawawie. Minimal, mereka dapat menyentuh keranda tokoh panutan itu. Melalui pengeras suara, terdengar seruan agar masyarakat tidak berebutan. “Hormati mayyit, hormati jenazah, jangan berebutan!” Teriakan itu terdengar sibuk dan sangat keras.
    Ketika jenazah sampai di pesarean, masyarakat yang sejak semula gaduh mulai tenang. Hanya sesekali terdengar bisikan, gumam “Allah” dan isak tangis wanita dari barat pesarean.
    Prosesi pemakaman itu berlangsung sekitar pukul 16.00 Selasa sore, 13 Rabiul Awal 1422 / 5 Mei Juni 2001. Sebelumnya, shalat jenazah dilaksanakan sebanyak 11 kali di mesjid Jami Sidogiri. Shalat jenazah dilaksanakan berulang-ulang karena masyarakat yang datang berta’ziah terus mengalir dari berbagai daerah. Setiap kali shalat jenazah dilaksanakan mesjid selalu penuh, sampai meluber ke surau dan jalan-jalan. Shalat jenazah pertama dilaksanakan sekitar pukul 9.00 pagi, sedang shalat jenazah terakhir sekitar 16.00 sore.
    Kiai Hasani memenuhi panggilan Allah sehari setelah peringatan Maulid Nabi Muhammad; tepatnya pada malam Selasa, 13 Rabiuts Tsani 1422, pukul 03.50 dini hari. Beliau wafat pada usia 77 tahun karena serangan darah tinggi yang sudah sejak lama dideritanya.
    Sehari sebelum wafat (malam Senin), Hadratussyekh masih sempat menghadiri acara peringatan maulid Nabi di Mesjid Sidogiri. Kiai mengikuti pembacaan diba’ mulai awal sampai selesai. Beliau juga masih sempat berta‘ziyah ke rumah H. Ismail, seorang warga desa Sidogiri yang wafat sehari sebelum maulid. Saat itu, Kiai sudah terlihat sakit parah. Sambil dipapah, beliau berjalan ke rumah H. Ismail yang berjarak kira-kira 150 meter dari dalemnya.
    Menurut penuturan dari salah satu putra tirinya, Mas Abdul Bari, 10 hari sebelum wafat, Kiai Hasani bercerita telah didatangi Imam al-Ghazali dalam tidurnya. Beliau mushafahah (berjabat tangan) dengan tokoh sufi terkemuka Abad Pertengahan itu. Kiai Hasani merasakan perjumpaan dengan Imam al-Ghazali seperti dalam alam nyata, tidak dalam mimpi. Beliau tidak menceritakan lebih lanjut tentang pertemuan dengan Imam al-Ghazali tersebut. Cuma, pada hari itu pula beliau dawuh kepada K.H. Nawawi Abdul Djalil: “Sing enak saiki mastur (Yang enak sekarang ini tidak dikenal orang).
    Sebelumnya, beliau akan untuk naik haji pada tahun ini menemani Nyai Shalihah, istri beliau. Niat itu telah diutarakan kepada beberapa Keluarga Sidogiri. Yang membuat Keluarga Sidogiri tersentak sedih dengan niat Kiai ini, beliau mengatakan bahwa usai naik haji, dirinya tidak akan kembali lagi.
    NEXT>>>>>See More January 2 at 8:48am · LikeUnlike


  • Nashihuddin Asy'ary

    Komentar Para Tokoh tentang KH Hasani Nawawie

    Habib Taufik bin Abd. Qodir Assegaf, Tokoh Habaib Pasuruan“Saya Kagum Dengan Visi dakwahnya”

    Saya cukup kenal dekat dengan beliau. Dan beliau saya anggap sebagai guru dan orang tua. Banyak hal... yang saya teladani dari figur beliau. waro’, sederhana, dan tidak mau menonjolkan diri adalah salah satu sifat utama beliau.

    Satu hal dari beliau yang selalu saya ingat adalah kelapangan hati untuk menerima kritik sekalipun dari orang yang masih muda. Pernah satu ketika, karena melihat beliau sering datang ke pendopo kabupaten, didorong rasa sayang pada beliau saya sampaikan, “Sebaiknya kiai jangan sering-sering datang ke pendopo, biar saya saja yang menjadi corong kiai”. Dibilang begitu beliau sangat gembira sampai-sampai uang yang ada disakunya dikasihkan pada saya semua, kalau tidak salah sekitar seratus lima puluh ribu. “orang berani dan jujur begini yang saya senangi”, kata beliau saat itu.

    Dalam dakwah beliau tidak pernah mempermasalahkan dari golongan mana. Asal visinya jelas dan sesuai dengan visi dakwah beliau pasti didukungnya. Entah itu NU atau bukan. Dan saya termasuk orang yang selalu diberi semangat oleh beliau untuk berdakwah.
    Dan satu hal lagi, beliau tidak pernah menyakiti bahkan selalu memberi manfaat pada orang lain. Dan orang yang seperti itu sangat mahal harganya.
    KH. Yusbakir, Wakil bupati Pasuruan
    “Penyejuk Birokrat”
    Pertama kali mendengar beliau wafat saya terkejut sekali, sebab salah satu pelita yang menerangi umat telah diambil oleh Allah. Kiai Hasani sangat punya perhatian pada masalah-masalah kepemerintahan. Beliau sering datang dalam pertemuan atau rapat di pendopo. Walau tidak banyak berkomentar bahkan tak jarang tak sepatah katapun beliau ucapkan. Namun dengan kedatangannya saja kami sudah merasa tenang dan sejuk, sebab kami merasa apa yang kami lakukan telah mendapat restunya.
    Beliau memang lebih senang diam. Jika berkata sekalipun pendek tapi mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Dan justru dengan sikapnya diamnya itulah kami semakin respek dan kagum.
    Kiai Hasani sangat peka dan tanggap terhadap persoalan keumatan. Beliau sering bertanya tentang bagaimana situasi keamanan Pasuruan dan memberikan nasehat-nasehat kepada para pejabat. Perhatian dan kesungguhan beliau setidaknya bisa dilihat dari masalah suksesi yang sempat menjadi polemik beberapa saaat lalu. “Yang saya inginkan bagaimana pasuruan bisa tenang kembali”, kata beliau saat itu.
    Sikap yang beliau tunjukkan selalu memberikan kesejukan pada siapapun yang melihat. Dan ternyata dalam kesederhanaannya beliau tetap punya kharisma yang begitu kuat.

H. Thayyib: Kiai Hasani, ayah dan guru saya

Apa kata STIE tentang Pondok Pesantren Sidogiri? Sekolah tinggi ekonomi kenamaan di kota Malang ini menganggap Sidogiri sebagai keluarga sendiri. “Sebagai keluarga, ilmu apa saja yang bisa diambi...
l Sidogiri dari STIE Malangkucecwara silahkan diambil,” ungkap H. Thayyib, pemilik sekaligus Ketua Yayasan Malangkucecwara ketika menerima rombongan Sidogiri yang melakukan kunjungan ke yayasan itu. Didampingi istri, puteri, dan menantunya serta beberapa pengurus yayasan dan dosen STIE, H. Thayyib mengungkapkan rasa kehilangannya yang amat mendalam atas wafatnya Almarhum K.H. Hasani Nawawie. “Bagi saya dan keluarga saya, beliau adalah guru sekaligus ayah. Sampai sekarang pun, saya masih punya semacam perasaan bahwa Kiai masih ada,” katanya dengan muka sedih. “Oleh karena itu, saya harap hubungan dengan Sidogiri terus berlanjut sampai kapan pun,” lanjut lelaki yang terkenal suka seni bangunan ini.

Lelaki setengah tua yang masih gagah ini menyatakan kekaguman yang luar biasa kepada almarhum. Menurutnya, almarhum adalah sosok yang sangat patut diteladani dan sulit dicari. Beliau adalah ulama yang sebetul-betulnya ulama. H. Thayyib yakin, Kiai Hasani adalah wali Allah. “Bahkan, menurut Kiai Mujahid dan seorang Habib, Kiai Hasani mempunyai dua kewalian,” ungkapnya.

Ia mengaku menerima banyak wejangan dari Kiai Hasani terutama terkait dengan prinsip hidup serta jalinan ukhuwah dengan sesama muslim. Salah satu pesan Kiai Hasani yang selalu ia ingat adalah prinsip menjaga kesatuan umat dengan tidak terjerumus ke dalam fanatisme partai dan golongan. H. Thayyib mengaku sering mengkampanyekan prinsip ini kepada masyarakat dan para ulama.

Dalam pertemuan yang berlangsung dengan suasana penuh kekeluargaan itu, H. Thayyib menceritakan bahwa sekitar 2 minggu sebelum wafatnya, Kiai Hasani sempat menyatakan niatnya untuk naik haji pada tahun mendatang. Ia menyambut niat beliau ini dengan gembira. Tapi, yang kemudian membuat ia sedih, Kiai menyatakan tidak akan kembali setelah haji itu. Dawuh Kiai ini membuat H. Thayyib menangis sejadi-jadinya, karena menurut firasatnya ini adalah isyarat bahwa beliau akan meninggalkan kita. “Beliau seperti pamitan waktu itu,” ungkapnya sedih.

Menurut orang yang mengaku pernah diberi minum air zamzam sampai tiga gelas oleh K.H. Hasani Nawawie (padahal ia sedang berpuasa sunah, tapi terpaksa ia batalkan) ini, hal utama yang membuat K.H. Hasani sesak berada di dunia ini, adalah konflik yang kerap terjadi sesama muslim akhir-akhir ini. Pemicu utama konflik itu masalah partai. “Kiai Hasani pernah dawuh: ‘bagaimana aku akan bertanggung jawab terhadap santri-santri Sidogiri yang ikut partai ini dan itu, kemudian saling bertengkar’,” ungkap H. Thayyib memendam rasa kecewa atas pertikaian umat yang meruncing akhir-akhir ini. (abi)

Ketika Seorang Sufi Mendobrak Fanatisme

Santri

“Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh pada al-Quran dan mengikuti Sunnah Rasul saw. dan teguh pendirian.
Ini adalah arti bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat dirobah selama-lamanya.
Allah maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya”.

Sebuah makna sekaligus predikat moral bagi santri yang diberikan oleh Hadlratus-Syaikh KH Hasani bin Nawawie. Sebuah peninggalan beliau yang tak akan lekang oleh waktu. Abadi, sejarah akan selalu mengenangnya.

Sang Panutan Agung

Ketika waktu mengeja sejarah
ada yang yang tersisa tak terbaca
lelampah sang panutan
menerangi pojok-pojok nurani
yang hampir mati

Lelampah agung, harus dikenang
lewat catatan, tutur berita dan
lewat cahaya-nya
yang senantiasa membisu

Di sini dan di saat ini …
kita akan tahu
keagungan yang terpendam
dalam “diam”-nya yang menentramkan

Hadlratus-Syaikh KH. Hasani Nawawie
ijinkan kami mengenangmu,
walau sekedar ceritamu!

Habib Luthfi (Ketua Jam`iyah Ahli Thoriqah An Nahdliyah)


Habib Luthfi
(Ketua Jam`iyah Ahli Thoriqah An Nahdliyah)
Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya dilahirkan di Pekalongan Jawa Tengah pada hari Senin, pagi tanggal 27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M. Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah al Karimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi.

NASAB BELIAU :
Al Habib Muhammad Luthfi bin Sayid Ali al Ghalib bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar Bin Sayid Thaha sahibur ratib (yang menyusun ratib Kubro) bin Sayid Muhammad bin Sayid Thaha bin Sayid Hasan bin Sayid Syekh bin Sayid Ahmad bin Sayid Yahya bin Sayid Hasan bin Sayid ‘Ali bin Sayid Muhammad Faqih Muqadam bin Sayid ‘Alawi bin Sayid ‘Ali bin Sayid Muhammad Sahib Marbath bin Sayid Khala ‘Ali Qasam bin Sayid ‘Alawi bin Sayid Muhammad bin Sayid Muhammad an Naqib bin Sayid ‘Isa an Naqib bin Sayid Ahmad al Muhajir bin Sayid Abdullah bin Sayid ‘Alawi bin Sayid ‘Ali al ‘Uraidhi bin Sayid Ja’far Shadiq bin Sayid Muhammad al Baqir bin Sayid ‘Ali Zainal Abidin bin Sayid Imam Husain as Sibthi bin Sayidatina Fathimah az Zahra binti Sayidina Muhammad Saw.

Masa Pendidikan
Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayahanda al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya:
• Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas
• Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri)
• Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
• Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.

Perjalanan Ilmiah
Selanjutnya pada tahun 1959 M, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu melanjutkan ke Mekah, Madinah dan dinegara lainnya. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.

Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.
Silsilah Thariqah dan Baiat:
Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu adalah:

Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah
Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
• Sanad Naqsyabandiayah al Khalidiyah:
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid Maulana Muhammad Khalid sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an Naqsyabandi al Hasni.
• Syadziliyah :
Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.

Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:
• Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
• Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ ‘Alawi.
• Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.

Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:
• Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali. Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.

Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.

Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:
Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.
Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid, hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.

Thariqah Tijaniah:
• Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.

Kegiatan-kegiatan Maulana Habib:
• Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami’ul Usul thariq al Aulia).
• Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
• Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
• Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
• Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
• Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
• Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.

Jabatan Organisasi:
• Ra’is ‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.
• Ketua Umum MUI Jawa Tengah.
• Anggota Syuriyah PBNU.dll.

https://www.facebook.com/groups/channelnahdliyin/permalink/296338467083979/

KH.IMAM FAQIH ASY'ARI DAN SEJARAH BERDIRINYA PP. DARUSSALAM SUMBERSARI



BIOGRAFI KH.IMAM FAQIH ASY'ARI DAN SEJARAH BERDIRINYA PP. DARUSSALAM SUMBERSARI
=============
Pada zaman dahulu sekitar pada awal abad ke - 19 tepatnya di desa Bagelan kab. Purworejo Jawa Tengah, lahirlah seorang jabang bayi yang bernama Nur Aliman yang kelak sebagai perintis singgasana Sumbersari dan beliau dibesarkan dalam keluarga yang sederhana namun sejahtera. Berkat ketelatenan orangtua beliau yang selalu menanamkan sifat zuhud, sabar, dan ulet akhirnya menjadikan beliau seorang anak yang tegar dan tabah menghadapi cobaan apapun. itu semua terbukti dengan keikutsertaan beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan R.I. yaitu dengan bergabung berrsama pasukan pangeran Diponegoro.
Namun realita berkata lain, dalam liku-liku perjuang kemerdekaan untuk melawan kedzoliman penjajah, maka pada tahun 1830 M. dalam sebuah perundingan yang dilakukan di Magelang Jawa Tengah dengan tipu muslihat para penjajah, pangeran Diponegoro tertangkap dan diasingkan ke Makasar (Ujung Pandang), hingga akhirnya wafat disana. Sedangkan laskar pangeran Diponegorobercerai berai karna wafatnya beliau dan tersebar ke seluruh nusantara. Diantara prajuritnya adalah kyaiNawawi .dan setelah menempuh perjalanan jauh sampailah beliau di desa Ringinagung kabupatenkediri. Di desa itulah beliau mulai merintis sebuah pesantren Salafi yang tetap Eksis hingga sekarang yang kita kenal dengan "Mahir Arriyadl".yamg berada kira-kira 2 km kearah timur dari Sumbersari. Selang tidak beberapa lama datanglah seorang pemuda pada kyai Nawawi, dialah Nur Aliman yang dulu pernah menjadi muridnya. kedatangan Nur Aliman ini berniat meneruskan pangabdian sekaligus untuk memperdalam ilmu agama.

A.BABAD SUMBERSARI.
Seiring dengan berputarnya roda kehidupan dan setelah melalui proses perjuangan yang sangat melelahkan dan penderitaan yang panjang, hingga tak terasa tampillah sang Nur Aliman sebagaipemuda yang dewasa dan tibalah saat baginya untuk mengembangkaan sayapnya ''li'laikalimatillah''.

Alkisah saat beliau refresing dan bermaksud untuk melihat suasana sekaligus mencari yang setrategis untuk berjuang hingga beliau sampai di desa Senowo yang mana sebelahnya terdapat sebuah hutan yang terkenal Sangat rawan dan angker. Terbesit dalam kalbu beliau untuk merombak hutan belantara sebagai lokasi untuk berjuang. Setelah merasa yakin dan mantap akan hal itu, maka niat beliau disampaikan pada gurunya ( kyai Imam Nawawi ) , Alhamdulillahsang guru meridoi dan merestuinya.

Kemudian mulailah Kyai Nur Aliman membuka hutan tersebut, dengan bermodal Bismillah dan Restu dari Sang Guru, serta tekadnya yang bulat yang di dasari rasa ikhlas dan penuh kesabaran akhirnya beliau berhasil merombak hutan yang terkenal keganasan dan keangkeranya. Dan karena Rohmat dan keridloan beserta 'Inayahnya Allah sehingga beliau merombak hutan tersebut menjadi sebuah dukuh yang indah laksana taman yang bertabur bunga Nirwana yang tumbuh berseri-seri.

Konon katanya di dukuh tersebut terdapat sebuah sumber mata air yang besar yang menopang kehidupan penduduk di sekitar situ, Dengan rasa syukur dan berbangga hati penduduk sekitar sepakat untuk menjadikan daerah sekitar sumber dijadikan sebuah dukuh.yang kemudian bernama Sumbersari. Namun sumber itu telah hilang laksana mata yang tak mampu mengalirkan air mata lagi. Dan sekarang sebagai monumenya didiami oleh Istiqomah ( cucu kyai Nur Aliman).

B. TAZAWWUJ.
Sumbersari telah menampakkan sinarnya ,bersama dengan bergulirnya masa serta bergeraknya waktu, Mbah Nur Aliman berkehendak menjalankan sunah rosul sebagai insan adami yakni "TAZAWWUJ", dalam rangka lii'lai Kalimatillah . kemudian atas izin Allah beliau menjumpai seorang pasangan hidup dengan seorang janda beranak satu yang pernah nyantri pada mbah juraimi ( senowo kurang lebih satu km arah barat Sumbersari). Yang konon masyhur dengan kyai jaduk /ampuh. Perempuan itu bernama Rusminah cucu dari bapak Hasan mursyid dari Blitar. kemudian istri dan anaknya diboyong ke Sumbersari, dan disanalah beliau membina dan membangun rumah tangga yangmawaddah warrahmah. Dengan limpahan kasih sayang walaupun dalam sebuah gubuk yang sederhana beratap ilalang. Dari pernikahan beliau dikaruniai tiga orang keturunan yaitu: 1. Murtiatun. 2. Musriatun. 3. Abdurrahman.

Putra- putri beliau kyai Nur Aliman semuanya tinggal di Sumbersari kecuali Nyai Musriatun. Putri kedua beliau dipersunting seorang pemuda dari Jombangan yang bernama Abu Umar sekaligus diboyong ke Jombangan, dan beliau mendirikan sebuah Ma'had yang bernama ''Miftahul Ulum''.
Walau beliau bertempat tinggal di daerah yang terpencil dan jauh dari kedamaian namun ada sebuah pepatah mengatakan ''Ada gula ada semut'' maka tak ayal lagi jika beliau kedatangan santri dari desa sekitar untuk menimba ilm kepada beliau. Dan itu semua berlangsung sampai saat ini, terbukti masih banyaknya santri yang nduduk ( tidak mukim di pondok).

Dalam usaha beliau Nasyrul Ilmi Waddin kyai Nur Aliman tidak terlepas dari cobaan dan rintangan yang silih berganti. Namun hal itu tidak membuat beliau putus asa justru hal tersebut mendorong untuk terus berjuang.
Menurut suatu hikayah mbah kyai Nur Alimanmempunyai tetangga dukuh yang terkenal bengis ,brutal,serta jahat, oleh karna itu tak jarang beliau mendapat perlakuan yang kurang ramah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, hingga suatu hari pernah beliau kehilangan sebuah selimut putra kesayanganya, usut punya usut ternyata selimut itu dicuri oleh tetangganya. Tidak hanya sampai disitu saja, kuda satu-satunya milik putra kesayangan beliau juga raip entah kemana, bahkan paling parah lagi yaitu ketika angkring beserta kitab-kitab milik santri ludes dilalap si jago merah. yang ternyata hal tersebut akibat ulah sekelompok orang-orang biadab yang tak menginginkan kehadiran beliau di tempat itu.

c. MENGHADAP KEHADIRAT ALLAH SWT.
Sebuah kenyataan yang tak bisa di pungkiri bahwa semua insan yang hidup di dunia ini pasti akan pergi memenuhi panggilan ilahi siapapun dia apapun jabatanya seluas apapun kekuasaanya mereka tidak akan pernah lepas dari yang namanya maut. Begitu juga beliau mbah kyai Nur Aliman usianya yang lanjut membawa kesehatan beliau semakin hari berangsur-angsur menurun,hingga pada suatu hari tepatnya 7 Syawal, beliau menghadap keharibaan ilahi dengan tenang di kediamanya, pada waktu itu keluarga beliau dirundung duka nestapa yang sangat dalam. Wa qiila; saat itu keluarga almarhum tidak mau makan sehingga ketupat yang telah dibuatnya sampai menjadi busuk.

Dengan pulangnya beliau kehadirat Allah SWT. tentunya kita semua merasa kehilangan, karena mengingat jasa-jasa beliau yang begitu besar dan tak mungkin untuk dilupakan. Oleh karenanya kita sebagai generasi penerus merasa terpanggil unuk menggantikan perjuangan demi tegaknya agama Allah dimuka bumi . marilah kita bersama mendo'akan beliau dengan bacaan Ummul Qur'an semoga beliau selalu diberikan Rahmat dan Ampunan oleh Allah SWT amin amin amin ya Rabbal alamin al fatihah.

2.KYAI ISKANDAR DAN KYAI ABDURRAHMAN.
Pondok pesantren merupakan sumber lembaga pendidikan tentunya harus mempunyai tokoh /figur sebagai pemimpin. Begitu juga Sumbersari yang telah merintis religius guna menanamkan nilai-nilai Islami dalam pribadi santri.

Sepeninggalan beliau Mbah kyai Nur Aliman perjuangan beliau diteruskan oleh menantunya yang pertama yaitu Mbah kyai Iskandar dan dibantu oleh Mbah kyai haji Abdurahman ( putra bungsu Mbah kyai Nur Aliman). Sedangkan metode pendidikan yang telah diterapkan oleh beliau masih menggunakan nduduk (datang sore pulang pagi) guna meneruskan perjuangan beliau maka beliau mendirikan sebuah masjid yang pada akhirnya diberi nama "BAITURRAHMAN" dengan masjid inilah sarana pengajian yang diberikan pada santri hanya sebatas pada pengajian AL-Qur'an dengan metode sorogan ( santri menghadap guru satu persatu).

Seiring dengan bergilirnya waktu, jumlah santri pun semakin banyak sehingga fasilitas yang adapun kurang memadai, sehingga serambi KH.Abdurrahman juga digunakan sebagai fasilitas pendidikan. Bertambahnya jumlah santri, membuat pemandangan yang ada di sekitar masjid menjadi indah dengan berdirinya bilik-bilik kecil ( kamar ) yang digunakan tempat istirahat para santri. Dengan adanya situasi dengan kondisi semakin mapan, maka disamping beliau mengajarkan AL-Qur'an, beliau juga membekali santri dengan ilmu agama yang lain meliputi : Nahwu /Shorof ( Gramatika Arab ), Ilmu Kalam ( Ilmu Tauhid/Teologi) dan Ilmu Tasawwuf ( Mistik). dll.

Selama beliau menjadi psngasuh Ma'had Darussalam, perkembangan pendidikan beliau begitu pesat walaupun banyak terjadi perkembangan yang positif, dan didukung setelah kedatangan beliau KH.Imam Faqih Asy'ari beserta isterinya ( Nyai Hj. Munifah cucu dari K. Nur Aliman ), Maka kualitas pendidikan yang berlangsung selama ini mengalami kamajuan yang Spektakuler ( secara besar-besaran).
Setelah beberapa tahun beliau KH. Abdurahman NASYRUL ILMI WADDIN, semakin hari usia beliau semakin tambah, dan tepat pada tanggal : 27 dzulhijjah 1410 H/10 januari 1990 M. beliau pulang ke Rahmatullah. Semoga kejayaan tetap bagi Sumbersari beserta alumninya khususnya dan umat Islam umumnya sampai di akhir masa. Amin ya Rabbal alamin………!!!!!!!

3.KH.IMAM FAQIH ASY'ARI.
Mu'assis Ma'had Darussalam Sumbersari KencongKepung Kediri.
Segala piji bagi Allah seru sekalian alam, Maha Besar Engkau ya Allah dengan segala Firma-NYA. Hormat Ta'dzim sepanjang masa semoga tersanjung dan tercurahkan keharibaan paduka yang mulia Rasulullah SAW. Nabi Akhiruzaman, sanak keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang dekat di hati beliau. Amin Allahumma amin!!!!!!!!.

Sekitar awal abad xx kuncuplah setangkai bunga yang kelak akan mengharumi taman kehidupan yang diridloi Allah SWT, dialah yang akan menyandang gelar ''Alim Al 'Alamah'' penyantun dan penuntun umat karna karismanya sebagsi figur ''Warosatul Anbiya'' di sebuah keluarga kecil bertuankan suami istri yang taat akan nilai-nilai agama yang luhur, lahirlah bayi mungil nan mempesona yang diberi nama Imam Faqih As'ari tepatnya di desa Tretek kawedanan Pare kabupaten Kediri.

Beliau lahir pada tahun 1917 M. dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan kesederhanaan serta Islami, kesederhanaan itu bukanlah faktor ekonomi melainkan dalam rangka meridloi putra putri beliau. Buktinya, kedua orang tua beliau ( H. Asy'ary + Hj. Halimah ). Selalu berpuasa setiap hari, kecuali hari-hari yang diharamkan. Itu semua adalah suatu hal yang positif. Bahkan, perlu dicatat ! bahwa beliau H . Asy'ari sangat mencintai ulama'. Itu terlihat meskipun sudah mempunyai dua putera, beliau berdua setiap hari kamis atau sabtu selalu berusaha mengaji ke Jampes yang kala itu diasuh oleh Kyai Dahlan. Melihat keadaan tersebut lama kelamaan Kiai Dahlan merasa iba dan menyuruh beliau pindah ngaji ke Bendo yang diasuh oleh Kyai Khozin. Oleh karena itu beliau bisa hadir bila pondok Jampes dan Bendo mengadakan khotaman dengan naik andong beserta membawa oleh-oleh.

Dalam mengarungi bahtera kehidupan bapak H.Asy'ari dan Hj. Halimah dikaruniai Allah swt 6 putera, yakni :
1. Bu Nyai Hj. Umi Kultsum( Klaten Wates ).
2. Bp.Syahid ( Genuk watu Sekoto Pare Kediri )
3. Ibu Nyai Hj. Fatimah (Tretek Pare Kediri )
4. KH. Imam Faqih Asy'ari (Sumber Sari)]
5. KH. Masyhadi (Junggo Ngoro Jombang )
6. Neng Ruqoyyah, beliau ini merupakan adik bungsu beliau KH.Imam Faqih Asy'ari, pada waktu pulang dari pondok Tegal sari + 24 hari beliau kembali ke Rahmatullah.

Semenjak kecil beliau KH.Imam Faqih Asy'ari sudah dididik oleh orang tuanya dengan disiplin agama, terutama tentang membaca Al-qur'an dan Al Barzanji. Disamping itu beliau rajin mengaji kepada K. Danuri ( Semanding Pare).

A. MONDOK DI TEBU IRENG
Sekitar tahun 1925 M, tepatnya beliau masih berumur 8 tahun, dan dalam keadaan belum dikhitankan, beliau sudah mulai menyelami samudra keilmuan religi yang begitu luas lagi dalam. Dengan satu tekad yang tak tergoyahkan, beliau nyantri di PONPES Tebu Ireng Jombang yang saat itu masih diasuh oleh KH.Hasyim Asy'ari seorang 'Alim 'Allamah yang merupakan pendiri Jam'iyyah NU. Dengan padas kurun itu, pesantren Tebu Ireng merupakan suatu pesantren yang bisa dikata begitu maju. Ini terbukti dengan diterapkannya sistem pendidikan yang memadukan antara pendidikan modern yang berupa madrasah dan sistem klasik yang berupa sorogan, bandungan, halaqoh dan ngaji weton.

Kedatangan Kiai Imam faqih Asy'ari di Tebu Ireng ditemani oleh kakak kandungnya yaitu Nyai Hj. Fatimah. Ketika itu beliau masih berusia 10 tahun. Sampai di Tebu Ireng beliau bertempat di Ndalem K. Alwi ( adik kandung KH. Hasyim Asy'ari ). Dalam pergaulan pesantren beliau juga ditemani oleh rekan sedaerahnya yaitu Bp. Muhsin ( putra H. Anwar Tretek ). Sesaat setelah beliau berdiam di Ndalem K.Alwi, dengan penuh kesungguhan,beliau langsung masuk di Madrasah salafiyyah di Sifir awal dan tsani hingga kelas lima, adapun pelajarannya beliau ilmu Tajwid dan setingkatnya. Sebelum beliau menamatkan sekolah MI pada tahun 1930 M. dalam kesehariaannya beliau bergantung kepada kakaknya, karena beliau saat itu masih kanak-kanak. Namun hal itu tak terulang lagi setelah beliau tamat sekolah MI, bersama 17 temannya, antara lain :
1. Agus Fatah ( Tambak Beras Jombang ).
2. K. Jaelani (Kertosono Nganjuk ).
3. Anwari ( Jetis Kediri ).
4. H. Kholil ( Cirebon Jabar ).
5. Makhsum ( Pemalang Jateng ).
Setelah mereka menamatkan belajarnya di tingkat Ibtidaiyyah di Tebu Ireng,sebagian ada yang pindah ke Lembaga Pendidikan yang lain dan sebagian meneruskan belajarnya di Tebu Ireng. Beliau K.Imam Faqih Asy'ari hingga tahun 1933 M.

B. MONDOK DI LiRBOYO KEDIRI
Sesungguhnya pada tahun 1933 M, Beliau mulai nyantri di pondok Lirboyo.Pindahnya beliau dari Tebu ireng bukan karena menghindari tugas, ( sebab beliau mandengar dari temannya bahwa beliau akan diangkat jadi guru atau pembantu kiai ) atau beliau takut dita'zir atau diusir. tetapi semua itu semata-mata dilakukan beliau karena sifat tawadu'nya yang merasa belum mampu. Namun kenyataannya tak sesuai dengan harapan beliau karena baru tujuh bulan di Lirboyo beliau dipanggil oleh K.Jauhari (ayah Gus Ma'sum) untuk diberi amanat : Faqih…! Koe saiki kudu mu lang moco lan nulis marang bocah cilik-cilik iku ! ( Faqih kamu sekarang harus mengajar membaca dan menulis kepada anak-anak kecil ). Dengan sepontan dalam hati kecil beliau beliau berkata : aku ngalih soko Tebu ireng kerono kanggo nambah ilmu, e weruh-weruh pak kyai nindakake amanat marang aku. Ya…Allah mugi-mugi panjenengan tulung kulo lan jiwo kulo.

Timbullah kebingungan dalam hati beliau karena tujuan pindah ke Lirboyo untuk menambah ilmu, tapi malah mendapat amanat dari K.Jauhari. Setelah direnungkan secermatnya lantas beliau menyadari, Mungkin dengan jalan ngajar inilah ilmuku akan bertambah. Akhirnya beliau berkenan memenuhi amanat dari kiainya. Semua itu beliau lakukan dengan rasa tulus, ikhlas dan ridla Allah semata.

Terangkatnya beliau KH. Imam Faqih Asy'ary menjadi guru di Lirboyo adalah sebuah sosok seorang santri yang mempunyai jiwa besar dan hormat pada orang tuanya, ini terbukti begitu beliau terangkat menjadi guru, beliau terus pulang guna berpamitan dan sungkem kepada orang tuanya, kemudian berangkat lagi ke Lirboyo untuk memenuhi tanggung jawabnya.

Disamping diangkat menjadi guru beliau juga diberi tugas mendirikan suatu lembaga pendidikan berbentuk madrasah, hal ini bukan berarti beliau adalah pendiri pertama Madrasah Lirboyo, karena sebelumnya lembaga Madrasah di Lirboyo yangsudah pernah didirikan sebanyak tujuh kali. Namun begitu setelah didirikan lalu mati entah apa sebabnya. Jadi dalam hal ini beliau hanyalah sebagai orang yang pertama menstabilkan dan mengefektifkan lagi lembaga Madrasah di pondok Lirboyo, maka ustadz Imam Faqih kemudian hari ditunjuk oleh kiai sebagai Roisul Madrasah (Ke palamadrasah). Sedangkan sistim pendidikan di Madrasah Lirboyo disamakan dengan Madrasah salafiyah Syafi'iyah Tebu Ireng -Jombang .

Di Lirboyo Mbah Faqih terkenal sebagai seorang guru yang telaten. Waqila, belum pernah ditemukan seorang guru yang sangat telatensepertihalnya Mbah Faqih baik dalam mengajar 'amrithy, Alfiyah, ''J. Maknun serta.''Uqudul juman.Semuanya memakai sistim imla' setiap 9/10 bait ditulis terus diberi ma'na gandul kemudian pada keesokan harinya setiap murid harus berdiri disampingnya Mbah Faqih untuk hafalan. proses seperti ini selalu di lakukannya setiap hari. Bukti ketelatenan beliau yang lain misalnya dalam mengajar beliau sering memberi tafsiran yang dalam setiap seminggu sekali buku dari siswa-siswa di kumpulkan (waktu mengembalikan biasanya pada hari sabtu). Anehnya tidak satupun yang terlewatkan dalam pengoreksiannya.
Selain sifat telaten Mbah Faqih juga masih memiliki keistimewaan yang lain diantaranya :
· Beliau sangat tekun mengaji dan nderes sampai-sampai tak sempat untuk ngobrol (berbicara yang tiada gunanya) bahkan sering membaca kitab (mbalah) pada santri yang lain, meski begitu beliau juga selalu bisa mengikuti pengajian Mbah kiai Manaf, padahal kitab yang sering dibalah Mbah Kiai Manaf jarang yang besar. Mitsalnya : Fathul Qorib, Alfiyah dan Dalail.
· Beliau juga terkenal sebagai santri yang dermawan, itu terbukti ketika beliau mendapatkan kiriman dari rumah, beliau langsung memerintahkan pada santri yang lain untuk mengambil beberapa dandang yang besar-besar guna menanak nasi, setelah matang santri yang lain + sebanyak 21 diajak makan bersama.
· Beliau juga sangat memperhatikan murid-muridnya, sampai- sampai beliau hafal semua nama murid beserta orang tuanya bahkan alamatnya. Kesemuanya itu dibarengi sifat ramah tamah dan penuh keakraban beliau..

B. MENGAJAR UQUDUL JUMAN
Dikala Kiai Imam Faqih ikut menangani madrasah dipondok Lirboyo pelajaran tertinggi adalah Al- jauhar Al- maknun bertepatan pada waktu itu beliau mengajarkan Jauharil maknun, jumlah siswa pada saat itu yang dipegang kiai Imam Faqih ini + 25 siswa. Setelah tamat, 25 siswa itu memohon kepada beliau untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi, yakni pelajaran Uqudul Juman. Dan Untuk melengkapi sarana serta prasarana balajar -mengajar , setiap murid mengumpulkan uang sebesar 50 sen ( tempo dulu) untuk membeli papan tulis, meja, kursi dan kitab Uqudul Juman yang diperuntukkan untuk mbah Imam Faqih. Jadi beliau mengajar Uqudul Juman waktu itu kitabnya masih baru, bahkan dalam satu cerita, beliau belum pernah mempelajari kitab Uqudul Juman karena pada saat belajar di Tebu Ireng beliau belum pernah belajar Uqudul Juman. dalam rangka mengatamkan kitab tersebut beliau hanya membutuhkan waktu 18 bulan, sekalipun cara pengajaran seperti pelajaran yang lain.

Di saat mengajar Uqudul juman murid-muridnya kebanyakan sudah menjadi guru, ada yang mengajar 'amrithiy, ada pula yang mengajarAl- fiyah, dan ada yang mengajar Jauharul Maknun. Walaupun begitu sistim yang beliau pakai tetap menggunakan sistim hafalan dan setiap bulannya diadakan setoran. Program ini beliau lakukan sampai khatam. Pada akhirnya tinggal 11 santri yang mampu mengkhatamkan Uqudul juman. Antara lain :
· Mbah Sholeh ( Blitar )
· Mbah Mat ( Slumbung)
· Bpk.Ashfiyah ( Kendal semarang )
· Bpk.Jupri ( Trengalek ) beliau adalah yang momong KH. Ali Shodiq pada waktu mondok di Lirboyo.
· Dan lain sebagainya.
Sebagai akhir kegiatan beliau di Lirboyo adalah membacakan kitab Shohih Bukhari.

D. MELAKSANAKAN SUNAH RASUL DAN BERJUANG DI JOMBANGAN
Ada pepatah mengatakan " Rasa senang kadang melalaikan segalanya ", begitu pula yang dialami Mbah Faqih. Tepatnya pada hari Kamis bulan J. Akhir tahun 1942 M. Mbah faqih pulang dari Lirboyo untuk membaktikan diri kekampung halamannya. Selang lima hari terhitung dari kepulangannya dari Pon.Pes Lirboyo beliau melaksanakan sunah Rasul atau Nikah dengan seorang Ning berasal dari Jombangan Pare ( Putri Kiai Abu Umar ) Pengasuh Pon.Pes Miftahul Ulum. Setelah menjadi menantu kiai Abu Umar beliau mendapat mandat penuh dari sang mertua untuk membantu proses belajar di Pondok Jombangan.

Setelah mendapat kepercayaan penuh beliau mbah Imam Faqih langsung mendirikan madrasah pada bulan Syawal. Walaupun sebelumnya sudah ada Madrasahnya, namun hanya untuk anak-anak kecil. Dengan kedatangan mbah Imam Faqih, Mardasah di Jombangan stabil, tertib dan lebih maju serta berkembang. Untuk menarik simpati, Madrasah dimasukkan sore, beliau bukan saja membantu di Madrasah namun juga membantu pelaksanaan pengajian kitab kuning hingga tampak lebih maju. meski demikian, beliau tetap rutin pada hari kamis datang ke pondok Lirboyo untuk sowan kepada kiainya.

D. PINDAHNYA KIAI IMAM FAQIH KESUMBERSARI
Empat setengah tahun kemudian,setelah perkembangan pondok Jombangan dirasa setabil maka, beliau bermaksud mengembangkan ilmunya lebih luas lagi dan sekaligus ingin merintis lembaga pendidikan (pondok pesantren) di suatu daerah yang rawan dan lengang. Maka bertepatan tanggal 13 maret 1948 M, beliau bersama sang istri, bersepakat untuk "Nasyrul 'ilmi waddin" di suatu dukuh yang mana Kyai Nur Alim, yaitu orang pertama yang mendiami dukuh tersebut, pernah merintis progam pengajian didukuh itu, tak lain dukuh tersebut adalah Sumbersari.

Dalam perjalanannya, beliau diikuti oleh 17 santri dari jombangan. menurut kisah lain beliau diikuti 12 santri.diantaranya:
1. Kyai Toha Romlan ( pengasuh pon pes Kebon Dalem Kandangan ).
2. Kyai Kamim ( Rewek sampang Madura ).
3. Bpk Dawani ( Jawa Tengah ).
4. Bpk. Abdul Karim ( Tretek Pare ).
5. Drs.Husni Waluyo ( Mantan Kandepag Kab.Mojokerto ).
6. Bpk.Muktar ( Pare ).
7. Bpk.Sirojuddin ( Sidomulyo Puncu Kediri ).
8. Bpk. Baedlowi ( Ngelamong Semanding ).
9. Bpk. Adro'I ( Lamong Pare ).
10. Bpk. Rofi'I ( Kamiri Kandangan ).
11. Bpk.Damamini ( kandangan ).
12. Bpk.Abdul Somad ( Pujon Malang ).

Menurut kisah, sewaktu datang di Sum- bersari, keadaan kampung tersebut masih sunyi karena baru didiami dua keluarga yaitu keluarga Kyai Nur Aliman, keluarga K. Iskandar ditambah beberapa bangunan rumah untuk para santri. Mes kipun demikian, pindahnya Kyai Imam Fakih sa- ngat beruntung, dimana saat itu ( perpindahan rumah ) dihadiri 'Ulama' besar yaitu Kyai Khozin dari Bendo pare ( Ayah Kyai Hayat ) yang ikut mendo'akan dan merestuinya. Sebuah rumah yang berada di tengah-tengah tegalan sebelah- nya masjid, itulah ndalem K. Imam Faqih pada mulanya.

F. AWAL MULA DIDIRIKAN MADRASAHDAARUSSALAM
Dengan berbekal sejumlah santri, pendidikan klasikal atau madrasah umum pada mulanya han- ya dibuka pada klas 1V Ibtidaaiyyah dan klas V ibtidaaiyyah. Dalam pelaksanaan pendidikan ini belum ada tempat kokoh. Waktu itu dikediaman beliau masih berupa rumah kecil yang berdinding bambu, dan sebelah baratnya ada bangunan tak berdinding. Tempat ini merupakan tempat pendi dikan setiap harinya sebagai ajang menuntut ilmu.

Mengingat sikon yang seperti ini, para santri tak tinggal diam, me- rekapun ha- rus berusa- ha memper baiki keada an untuk sarana pen- didikan. Se- arah de- ngan ber- jalanya waktu, sekitar kurang dari 5 bulan didiri- kan bangunan baru yang lebih baik. Setelah se- lang beberapa bulan pandidikan madrasah ber- jalan lancar, maka nama beliau mulai dikenal masyarakat sekitar. Dan akhirnya banyak santri datang dari luar daerah dengan tujuan menuntut ilmu. setelah melihat keadaan yang seperti itu, be liau mengambil kebijaksanaan untuk mengelola adanya pendidikan yang mengarah lebih maju. Maka diusahakan pengajar dari murid yang sudah mampu untuk membantu memberikan pendidikan dikelas bawahnya. Diantara tenaga pengajar tadi adalah:
1. Bpk. Sirojuddin.
2. Bpk. Khamim.
3. Bpk. Toha.
4. Bpk. Mukhtar.
5. Bpk. Abdul Karim.

Pada tahun 1949 M. Pendidikan rutin sempat terlambat dengan terjadinya Agresi. Setelah kea- daan dirasa cukup aman, pendidikanya segera di lanjutkan kembali dan didirikan pula sebuah mu- shola yang sederhana dan terbangun dari bambu. Kemudian pada tahun 1957 M. beliau mulai mem buat madrasah dan pondok yang berada disebe- lah utara mushola yang sampai sekarang masih berdiri kokoh ( kamar umum ).Setelah itu, beliau K. Imam Faqih Dan K. khamim berinisiatif untuk memberi nama madrasah tersebut . beliau berdua selalu bermusyawarah dengan melihat lingkungan sekitar yang banyak ditanami pohon salam, maka beliau berdua mendapatkan inspirasi bahwa madrasah terse but diberi nama '' MADRASAHISLAAMIYYAH DAARUSSALAMAH ''.

G. Tragedi diawal Daarussalam
Roda kehidupan setiap insan didu nia ini tidaklah abadi berjalan dengan lancar dan mulus, coba an dan rintangan pastilah dialami. Karena hidup tan pa rintangan ba- gaikan sayur tanpa garam yang tentunya hambar lah rasanya. Begitulah kehidupan didunia ini, ma- nusia tak mempunyai kekuasaan, hanya Allah SWT yang menentukan.

Diawal perjalananya terjadilah musibah be- rupa angin ribut yang mengakibatkan sebagian gu buk para santri ambruk. Tapi semua itu tak men- jadi hambatan bagi orang yang himmahnya tinggi. bahkan menjadi pendorong untuk semakin giat dan semangat untuk mencapai cita-citanya yang luhur. Akhirnya, berkat kesabaran dan kegigihan, terwujudlah bangunan lagi dan proses belajar me- ngajar dapat berjalan lancar lagi. namun dite- ngah- tengah keasyikan para santri menggali ki- tab kuning, terjadilah agresi belanda, dan Sumbersari pun tak luput dari serangan tersebut. Peris- tiwa itu terjadi sekitar tahun 1949 M. dan secara tidak langsung mengakibatkan kegiatan belajar mengajar dan mengajipun sedikit terganggu, bah- kan sempat berhenti. dikarenakan banyak santri yang pulang kekampung halamanya guna turut berpartisipasi memperjuangkan tanah kelahiran- nya.

H. SITUASI PULIH KEMBALI
Sekitar + bulan setelah agresi Belanda keadaanpun mulai pulih kembali seperti sedia kala. Maka pendidikan segera dimulai, dan didiri-kan pula musholla yang sederhana ( terbuat dari bambu ). Bersama dengan berputarnya waktu pa- ra santri terus bertambah dan mengakibatkan pon dokan dari bambu sudah tidak muat lagi untuk me nampung. Hal inilah yang mendorong hasrat beli- au untuk membangun pondokan yang permanen. Baru pada tahun 1957 M. beliau berhasi memba- ngun pondokan yang bahanya diambil dari bekas rumah beliau didesa Tretek Pare. Lokasi bangu- nan tersebut berada disebelah utara musholla, dan sampai sekarang masih berdiri kokoh ( kamar umum ).

I. MEMENUHI PANGGILAN ILLAHI KEBAITILLAH
Pada tahun 1960 M. Mbah Faqih berkeinginan menunaikan ibadah Haji. Dengan segala persia-panya beliau mendaftarkan diri secara resmi me- lalui undian, tapi ternyata undian beliau tidak ke- luar saat itu. Maka beliau mengoper alihkan de- ngan membuat balai rumah. setelah membangun nya selesai, beliau mengikuti undian Hajji lagi. Alhamdulillah, undian kali ini memberi kesempa- tan pada beliau untuk menunaikan jbadah Haji dengan menaiki kapal laut. Hal ini terjadi pada tahun 1961 M. sepulang dari tanah suci beliau me rehab dan memperluas musholla yang tadinya terbuat dari bambu diganti dengan tembok, terjadi pada tahun 1962 M.

J. PULANG KERAHMATULLAH
Setelah berhasil mengkoordinir pondok dan madrasah yang syarat dengan kemajuan dari ber bagai aspek dengan sistem pendidikan Islami Syalafi telah membawa kemenangan gemilang dalam mencetak generasi islam yang bermutu dan siap pakai. Dan menjadi sunnatulloh yang tak mungkin lagi kita ingkari bahwa alam telah beru- bah. setiap sesuatu yang berubah itu baru. maka sudah tak hayal lagi jika, semakin hari umur kita berkurang dan kondisi semakin melemah yang akhirnya semakin tak berdaya.

Begitu juga yang dialami mbah Faqih, dari hari kehari kondisi beliau semakin melemah dise- babkan kesehatan yang semakin berkurang se- hingga sudah tidak memungkinkan lagi melaku- kan aktifitas sebagaimana sebelumnya, dan beliau lebih banyak baristirahat selama + 4 bulan terakhir sebelum kewafatan beliau, ditengah-te ngah para santri sedang giat- giatnya belajar dan memusatkan fikiran demi keberhasilannya de- ngan suasana alam yang diselimuti kabut pagi dan dinginnya sisa angin malam, beliau telah kem bali kepangkuan Illahi Robbi dengan tenang. Te- patnya pada hari ahad tanggal 27 Dzul hijjah pu- kul 03.00 dini hari dalam usia 80 tahun.

Hal tersebut, merupakan salah satu moment yang sangat penting dan perlu untuk digaris ba- wahi, bahwa seorang AULIYA'ULLAH telah di-ambil kembali ke hadirat Robbil 'izzati. Angin me-nghembus lirih daun-daun berguguran menghiasi pucuk- pucuk pepohonan yang tertunduk berbaur rasa kidmad seakan turut serta berduka cita. Beliau dibawa menuju tempat peristirahatan tera-khir di dusun Sumber Sari sebelah barat masjid dengan diiringi suara- suara tahlil disepanjang perjalanannya.

Usai sudah tugas beliau dalam mengem- ban Amanat Allah dan melestarikan agama-NYA dengan mengubah kejahilan dengan kunci-kunci iman dan kehidupan islami.

Semoga dengan berhakhirnya sejarah pondok Sumber Sari di edisi kedua ini dapat menjadikan tambahan wawasan dan kesemangatan kita se- mua untuk mencari ilmu agama, dan semoga kita semua mendapatkan barokah ilmu beliau Amin Amin Amin. — at Salam Lintang Songo.

https://www.facebook.com/groups/channelnahdliyin/permalink/311292558921903/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India