Minggu, November 18, 2012
Unknown
No comments
oleh: Nashihuddin Asy'ary
Khalwat
Khalwat adalah tradisi dalam tarekat untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan cara menyepi. Mereka yang menjalani khalwat adalah para
pelaku suluk, meskipun esensinya harus dilakukan oleh umat Islam dan
kaum beriman secara keseluruhan.
Dalam laku suluk atau
tarekat, khalwat merupakan salah satu jenjang yang harus dilalui oleh
seorang salik atau sufi, di samping jenjang-jenjang atau maqamat lain
seperti taubat, mujahadah, zuhud, dan lain-lain. Di kalangan masyarakat
NU, khalwat merupakan tradisi yang popular.
Khalwat secara
bahasa berasal dari akar kata khala yang berarti sepi, dan dari akar
kata ini praktik khalwat adalah praktik menyepi untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Salah satu rujukan yang sering digunakan kalangan NU untuk
praktik khalwat adalah kitab-kitab sufi yang dikaji di pesantren,
seperti Ihya’ Ulumuddin dan Minhajul `Abidin karangan Imam al-Ghazali,
ar-Risalah al-Qusyairiyah karangan Imam Abul Karim Hawazin al-Qusyairi;
dan kitab-kitab lain dari para imam tarekat.
Para guru sufi
yang dijadikan rujukan di kalangan NU, selalu mengaitkan khalwat dengan
`uzlah (mengasingkan diri) dari eksistensi keduniaan. Seorang pesuluk
harus menempuh `uzlah terlebih dulu, dan kemudian mengantarkannya untuk
menempuh khalwat (menyepi).
Secara esensial `uzlah adalah
menghindarkan diri dari praktik tercela, dan mengisinya dengan praktik
terpuji, dan karenanya bukan untuk meninggalkan tanah air. Orang yang
mampu seperti ini akan menjadikan `uzlah dan kemudian khalwat secara
berimbang antara hubungan masyarakat dan pendalaman spiritual internal
untuk bersambung dengan Allah.
Oleh karena itu, seorang guru
besar sufi, Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul `Abidin menjelaskan
bahwa orang yang memiliki pengikut dan ilmunya dibutuhkan oleh
masyarakat dalam urusan agama, maka orang seperti ini tidak dibenarkan
mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat. Maksudnya adalah
mengasingkan secara permanen dan konstan secara fisik dengan
meninggalkan mereka. Orang yang seperti ini harus kukuh dan berdiri di
barisan masyarakat untuk mencerahkan dan membimbing mereka, tetapi
hatinya harus tetap bersama Allah. Inilah yang disebut sebagai kemampuan
untuk khalwat atau tajrîd (menyepi) yang sukar dilakukan oleh orang,
yaitu menyepi dan `uzlah di tengah keramaian.
Pada umumnya,
`uzlah dan khalwat dalam pengertian demikian sukar dilakukan, karena
seorang pesuluk yang menjalaninya, fisiknya bersama masyarakat dan orang
ramai, tetapi hatinya bersama Allah terus-menerus. Tidak semua orang
bisa menjalaninya, dan karenanya orang yang tidak bisa melakukan seperti
ini, di kalangan masyarakat NU ada yang melakukan `uzlah dan khalwat
sebagaimana saran Imam al-Ghazali.
Menurut sang imam, bagi
mereka yang posisinya tidak begitu dibutuhkan oleh masyarakat, baik
dalam soal ilmu atau keterangan-keterangannya yang bermanfaat, perlu
tetap menyambung hubungan dalam hal shalat Jum’at, shalat Id’, shalat
berjama’ah, ibadah haji, dalam majelis ilmu, dan dalam tijârah (bisnis).
Jalan yang paling baik bagi mereka ini adalah `uzlah dan khalwat selain
dari keperluan demikian.
Praktik yang demikian kadang-kadang
juga masih sulit untuk memperoleh buah dari `uzlah dan khalwat, karena
masih berhubungan dengan orang lain, seperti tijârah, majelis ilmu, dan
lain-lain. Oleh karena itu, sebagian masyarakat NU dan para pesuluk
tarekat ada yang benar-benar mengasingkan diri secara fisik dan hati
sampai beberapa hari ke tempat yang sepi. Pengasingan diri dan kemudian
menyepi untuk hening diperlukan, karena pergaulan dengan makhluk, tidak
sedikit yang memalingkan pesuluk dan menimbulkan kebingungan-kebingungan
dalam hati; dan karena kebanyakan manusia juga mengajak kepada
bermalas-malasan untuk beribadah, menempuh jalan bening, dan malah
mengajak pada riya’.
Pengasingan diri dan menyepi secara
fisik, kemudian diikuti laku esensi `uzlah dan khalwat-nya, sangat
dibutuhkan oleh orang-orang seperti ini.
Praktik khalwat dalam
bentuk pengasingan diri dan menyepi secara fisik ini, dalam tradisi
pesuluk di kalangan masyarakat NU, biasanya dilakukan beberapa hari,
minimal ada yang 3 hari, 7 hari, 40 hari, dan lain-lain. Karenanya,
tetap saja praktik pengasingan diri secara fisik bukan praktik permanen,
karena dilakukan beberapa hari seperti disebutkan. Yang permanen adalah
menjalani esensi `uzlah dan khalwat, yaitu memperoleh hakikat hening
dan persambungan kepada Allah: menyepi dari perilaku tercela dan
mengisinya dengan perilaku yang baik.
Dengan keheningan dalam
khalwat dan `uzlah, tidak jarang muncul musyahadah dan
pengalaman-pengalaman spiritual yang menambah kukuhnya pesuluk untuk
terus menapaki jenjang berikutnya menuju Allah dan bersama-Nya.
Di dalam berbagai tarekat yang ada di NU, laku khalwat jenis ini ada
dalam bimbingan para mursyid, sehingga para murid (pesuluk) menjalaninya
atas arahan dan bimbingan dari para guru. Orang yang sudah menjalani
khalwat dan `uzlah, secara batin dan lahir harus menjadi lebih baik
dalam lakunya. Kebalikan dari ini, dianggap sebagai kegagalan dalam laku
khalwat dan `uzlah, dan seorang pesuluk harus mengulang lagi. (Sumber:
Ensiklopedia NU)
Posted in: Tradisi NU
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Facebook
0 komentar:
Posting Komentar