A.
Pengertian
Perdagangan atau jual-beli dalam bahasa
arab sering disebut dengan kata al-bai', al-tijarah, atau
al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :
يَرْجُونَ
تِجَارَةً لَنْ تَبُور
Mereka mengharapkan tijarah
(perdagangan) yang tidak akan rugi (QS. Fathir : 29)
Secara bahasa, jual-beli atau al-bai'u
berarti muqabalatu syai'im bi syai'in (مقابلة
شيء بشيء). Artinya adalah menukar sesuatu
dengan sesuatu. (Lihat al-Fqihul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-zuhaili jilid 4 halaman
344)
Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu'
Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah (مقابلة
مال بمال تمليكا) yang berarti : tukar
menukar harta dengan harta secara kepemilikan. (lihat Mughni
Al-Muhtaj jilid 2 halaman 2)
Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan
bahwa jual-beli sebagai (مبادلة المال بالمال
تمليكا وتملكا), yang artinya pertukaran
harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan. (Mughni Muhtaj jilid 2 halaman 2)
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan jual-beli adalah : "menukar barang dengan barang atau
menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari
yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan".
B.
Dasar
Masyru'iyah
Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang
hukumnya boleh berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya serta ijma' dari
seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :
وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli
dan telah mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah : 275)
Sedangkan dari sunnah nabawiyah,
Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ
اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ قَالَ:
إِذَا تَبَايَعَ اَلرَّجُلَانِ, فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ
مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعاً, أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ,
فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا اَلآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدَ وَجَبَ
اَلْبَيْعُ, وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا, وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ
مِنْهُمَا اَلْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ اَلْبَيْعُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw
bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang
mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli)
selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di
antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang
menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka
jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq alaih)
عَنْ
رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ
اَلنَّبِيَّ سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ
أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ اَلرَّجُلِ
بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ - رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ
اَلْحَاكِمُ
Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa
Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau
bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang
bersih”. (HR Al-Bazzar.) dan Imam Hakim menshahihkan hadits ini.
وَعَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ نَهَى
عَنْ ثَمَنِ اَلْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ اَلْكَاهِنِ مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Abu Mas’ud al-Anshary r.a. bahwa
Rasulullah saw. melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran dan
upah pertenungan. (HR. Muttafaq Alaih)
C.
Hukum
Jual Beli
Secara asalnya, jua-beli itu merupakan
hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam
Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum jual-beli itu seluruhnya adalah
mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila
jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk yang
dilarang beliau SAW. (Lihat
al-Fqihul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-zuhaili jilid 4 halaman 364)
D.
Rukun
Jual-beli
Sebuah transaksi jual-beli membutuhkan
adanya rukun sebagai penegaknya. Dimana tanpa adanya rukun, maka jual-beli itu
menjadi tidak sah hukumnya. Rukunnya ada tiga perkara, yaitu :
·
Adanya
pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
·
Adanya
akad / transaksi
·
Adanya
barang / jasa yang diperjual-belikan.
Kita bahas satu persatu masing-masing
rukun jual-beli untuk lebih dapat mendapatkan gambaran yang jelas.
1. Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi
muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku yang harus berakal dan baligh.
Dengan rukun ini maka jual-beli tidak
memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau tidak
waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang
akalnya (idiot).
Demikian juga jual-beli yang dilakukan
oleh anak kecil yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang
diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil. Namun bila
seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual-beli yang
dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual-beli dengan
bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi bukan sebagai penentu jual-beli.
Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah
toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah
ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.
2. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad
kesepakatan untuk bertukar dalam jual-beli. Akad itu seperti : Aku jual barang
ini kepada anda dengan harga Rp. 10.000", lalu pembeli menjawab,"Aku
terima".
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu
harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan
termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli
dengan sistem mu'athaah, (معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk
bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Adanya Barang / Jasa Yang
Diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang
atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan
itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli
menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu :
a.
Suci
Benda yang diperjualbelikan harus benda
yang suci dana arti bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda
najis yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging babi,
khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan
dan lainnya. Berbeda dengan madzhab Hambali yang menyatakan bahwa hewan yang dagingnya boleh dimakan maka kotorannya tidak najis.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ
اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia
mendengar Rasulullah saw. bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu:
”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan
berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)
b.
Punya
Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya
manfaat secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan
madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i
menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking,
ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda
yang disebut dengan alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang
memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila
setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual-beli alat musik
itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat
dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli
maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya. (Kifayatul
Akhyar jilid 1 halaman 236)
c.
Dimiliki
Oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain
pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah)
atau wakil.
Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah)
adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan,
maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil
adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya
kepada pihak lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk
kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi,
dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai
wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang
bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia
bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu.
Dalilnya adalah
sebagai berikut :
Tidak sah sebuah talak itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan
budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah
sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual.
Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak
berkewajiban atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits hasan)
Walau pun banyak yang mengkritik bahwa
periwayaytan hadits ini lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi
hadits shahih.
Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam
Asy-syafi'i membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi
hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya.
Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali
atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli
itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah
dianggap sah.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW
memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku
belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1
Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar
sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda,"Semoga Allah
memberkatimu dalam perjanjianmu". (HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d.
Bisa
Diserahkan
Menjual unta yang hilang termasuk akad
yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak.
Demikian juga tidak sah menjual
burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik
secara pisik maupun secara hukum.
Demikian juga ikan-ikan yang berenang
bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa
dipastikan penyerahannya.
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan
bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa
diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e.
Harus Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaanya,
tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak
mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu harus
dilihat -meski hanya sample- oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli
dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung.
Dari segi kuantitas, barang itu harus
bisa dtetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau
pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar
pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar.
Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan
peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang
diberikan.
Di masa modern dan dunia industri,
umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik.
Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin
keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli.
Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi
dengan beberapa tehnik, misalnya :
·
Dengan
membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur
atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat,
fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
·
Dengan
membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya
sample barang.
·
Garansi
yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.
Wallahu A'lam Wal Musta'an
0 komentar:
Posting Komentar