Translate

Minggu, 25 November 2012

Justru Seharusnya NU tidak Berpolitik



Oleh: Moch Soim

NU merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Dari sejak lahirnya pada tahun 1926 M, NU sudah memberikan banyak hal pada Indonesia, baik di bidang agama, pendidikan, sosial, dan politik.
Sebagai organisasi besar dan memiliki anggota yang berjumlah besar, tentu NU tidak lepas dari masalah, terutama dalam masalah politik. Memang NU tidak akan terlepas dari politik, karena ia berada di sebuah negara yang berdaulat. Semua orang yang tinggal di negara yang berdaulat adalah merupakan makhluk politik. Termasuk NU. Jadi, mau tidak mau, NU harus ikut andil dalam politik. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana NU harus berpolitik, dan politik bagaimana yang harus dilakoni NU?

Sejarah Perpolitikan NU
Sejarah mencatat bahwa NU adalah organisasi yang tidak anti pada politik dan tidak mengharamkan politik, bahkan NU mendorong warganya untuk ikut andil dalam perpolitikan.
Pada masa orde lama, aspirasi politik NU disalurkan melalui partai Masyumi. Tetapi bersama Masyumi NU tidak menemukan dan tidak pernah mendapatkan posisi yang tepat untuk mengembangkan diri. Gaya perjuangan NU berbeda dengan gaya perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh Masyumi, NU bergaya Ahlusunah Waljamaahyang tawassuth (menjunjung tinggi keadilan), sedangkan para pemimpin Masyumi sering kali menunjukkan antipati atau apriori kepada kelompok lain. Akibatnya, NU memilih memisahkan diri dari Partai Masyumi (1952) dan memilih menjadi partai politik sendiri dengan beberapa alasan: Pertama, pada saat itu usia NU sudah cukup lama, 26 Tahun. Kedua, NU adalah suatu organisasi yang cukup besar dan memiliki anggota yang berjuta-juta jumlahnya. Ketiga, pengurus NU cukup mampu mengarahkan roda organisasi. Keempat, NU sudah memiliki jaringan yang tersebar di berbagai daerah, bukan saja di Pulau Jawa melainkan sampai ke Nusa Tenggara. Dan kelima, NU memiliki karakteristik tersendiri.
Dan ternyata, dalam Pemilu 1955, NU berhasil memperoleh 45 kursi DPR. Yang mana ketika bergabung dengan Masyumi hanya memperoleh 8 kursi. Sejarah mencatat bahwa dengan menjadi partai politik tersendiri, NU berhasil menempatkan dirinya sebagai kekuatan politik nasional yang diperhitungkan (Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia: 2008: 40).
Sedangkan pada zaman Orde Baru, ketika jumlah partai politik disederhanakan, NU memfusikan fungsi politiknya pada PPP (1973). Namun, di partai ini, NU sering dibohongi dan dimarjinalkan oleh pimpinan partai yang dekat dengan penguasa. Akibatnya, ada sekelompok nahdhiyyin yang lebih mengutamakan kiprah politiknya ketimbang kiprah sosial keagamaannya. Artinya, orang NU yang bergabung dengan PPP ikut terbawa arus politik yang tidak baik, yang hanya untuk kepentingan pribadi, agar tidak tersingkirkan.
Setelah Orde Baru tumbang dan datang zaman reformasi, warga NU dengan semangat berusaha membujuk PB NU untuk membentuk partai sendiri. PB NU tidak menanggapi bujukan ini dengan alasan terikat dengan khittah, namun PB NU mempersilakan warga NU untuk membentuk partai sendiri. Sehingga, pada akhirnya, terbentuklah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB bukan partainya NU dan tidak memiliki hubungan organisasi dengan NU. PKB adalah partai yang didirikan oleh orang-orang NU. Sejarah mencatat bahwa partai ini mampu membawa salah satu tokoh NU menjadi orang nomor satu di Indonesia yakni KH Abdurrahman Wahid.
Namun munculnya PKB menimbulkan pro dan kontra di kalangan tokoh-tokoh NU. Yang kontra menganggap PKB merupakan partai sekular karena tidak menggunakan Islam sebagai asas partainya. Maka, tokoh-tokoh yang kontra ini membuat partai sendiri sebagai bentuk kekecewaan mereka seperti, PKU (Partai Kebangkitan Ummat) yang diketuai KH Yusuf Hasim, PNU (Partai Nahdlatul Ummah) yang diketuai KH Syukron Makmum, Partai SUNI (Serikat Uni Nasional Indonesia), dan terakhir muncul PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama). Entah setelah ini partai apa lagi?
Begitulah perjalanan perpolitikan NU yang semrawut. Menurut KHA Muchith Muzadi, yang di juluki Literatur Hidup NU, NU sudah sangat kenyang dengan pahit-manisnya politik dan harus disadari bahwa politik sering membuat NU tercabik-cabik dan membuat bertengkar antarteman sendiri.

Memahami Khittah NU
Khittah oleh NU dimaknai sebagai garis pendirian, perjuangan, dan kepribadian NU, baik yang berhubungan dengan keagamaan maupun kemasyarakatan, baik perorangan maupun organisasi.
Gagasan kembali ke khittah ini didasari oleh pertimbangan bahwa selama ini NU terlampau mengedepankan urusan politik yang kenyataanya bukan semata-mata untuk kepentingan organisasi dan bangsa, melainkan mengutamakan kepentingan pribadi daripada urusan sosial keagamaan yang merupakan misi utama berdirinya. Pada masa itu, para politisi NU lebih cenderung melakukan “manuver politik” dengan target utama merebut kekuasaan. Maka dari itu, muncullah gagasan untuk kembali ke khittah (Kacung Maridjan: Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah:133).
Perlu diketahui bahwa khittah NU yang dirumuskan dan disahkan pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, bukan bertujuan untuk memposisikan NU steril dari politik, melainkan NU ingin mengoptimalkan pemamfaatan potensi warganya dalam berpolitik dengan cara membiarkan warganya untuk masuk atau tidak masuk pada organisasi politik apa saja. Namun harus sesuai dengan pedoman politik yang telah ditetapkan oleh NU (baca keputusan muktamar NU ke-28 di Krapyak Jogjakarta tentang pedoman politik warga NU).
Di samping itu, garapan lain di luar politik praktis masih sangat luas yang juga tidak kalah pentingnya dibandingkan politik praktis. Seperti misalnya bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya yang pada akhirnya juga dapat memperkuat potensi politik NU. (Ayu Sutarto: 2008: 47)
Gus Dur pernah berkata bahwa pasca khittah, NU harus meninggalkan wilayah politik praktis dan harus memasuki wilayah yang ia sebut dengan apolitical politic yakni kiprah politik yang bermain di luar panggung.
Dalam khittah juga dijelaskan bagaimana seharusnya sikap NU terhadap Negara. Menurut KHA Muchith Muzadi, NU telah mengambil keputusan dalam bidang politik nasional tingkat tinggi yakni dengan mendeklarasikan hubungan Pancasila dengan Islam. Ini artinya, NU tidak perlu lagi membuat Negara Indonesia menjadi Negara Islam atau menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Sebab dalam deklarasi tersebut, NU meyakini bahwa 5 sila yang tercantum dalam Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam bahkan merupakan juz’iyat (bagian-bagian) dari butir-butir agama Islam (KHA Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah & Ajarannya: 2006).
Ini merupakan langkah politik yang telah dilakukan oleh para tokoh NU. Sebab untuk membuat Indonesia menjadi Negara Islam atau menjadikan syariat Islam sebagai dasar Negara itu hal yang tidak mudah, bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Karena kita tahu sendiri bahwa Negara Indonesia terdiri dari tiga golongan besar yaitu golongan yang berpaham nasionalis, agama, dan sosialis-komunis. Oleh karena itu, untuk mengubah Indonesia menjadi negara yang berdaulat dan kuat, maka ketiga golongan itu dipandang perlu untuk bekerja sama dan saling bahu-membahu.
Akhiran, sebagai warga NU, kita harus paham betul terhadap khittah, sebab khittah ini memiliki fungsi sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak bagi warga NU baik secara individu maupun kolektif, dan sebagai landasan dalam proses pengambilan keputusan. Jadi, jangan bicara NU kalau belum membaca dan memahami khittah.[]

*) Pimred Mading An-Najah

Sumber: http://www.facebook.com/groups/channelnahdliyin/doc/205950829456077/

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India