Translate

Minggu, 25 November 2012

Pengaruh Liberalisme dalam Kultur Pemikiran Nahdliyyin


Oleh: Moch Soim

Nahdlatul Ulama (NU) adalah jamiyah yang didirikan oleh para kiai pengasuh pesantren di Indonesia. Tujuan didirikannya NU di antaranya adalah: a) memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal-Jamaah dengan mengikuti pola madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali, b) mempersatukan langkah-langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan c) melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia. Demikian latar belakang berdirinya NU dalam perspektif keorganisasian, seperti ditulis dalam mukaddimah Aswaja An-Nadhiyyah halaman 1.
Sementara itu, berdirinya NU secara ideologis dan teologis juga tidak dapat dilepaskan dari keprihatinan para kiai pesantren terhadap masuknya ajaran-ajaran non Ahlusunah wal-Jamaah ke Indonesia yang mulai mengancam akidah umat. Hadlratusysyaikh KH. Mohammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlus-Sunnah wal-Jamâ‘ah menyebutkan beberapa aliran yang mulai masuk dan menyerang kaum Muslimin di Indonesia sejak tahun 1330 H. Di antaranya adalah aliran Wahhabi dan gerakan pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha.
Tidak dapat dipungkiri bahwa liberalisme merupakan upaya westernisasi atau pembaratan ideologi dan ajaran Islam. Liberalisme ini lahir dari rahim pemikiran Muhammad Abduh dan Wahhabi. Gerakan pemikiran Wahhabi yang membuka kran ijtihad seluas-luasnya telah menghilangkan otoritas para ulama mujtahid sejak generasi salaf dan diganti dengan otoritas ijtihad individu tanpa memenuhi kriteria dan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh para ulama.
Sementara Muhammad Abduh, dengan pemikirannya yang cenderung toleran terhadap peradaban dan pemikiran Barat telah melahirkan tokoh-tokoh liberal angkatan pertama dalam Islam pada abad 19 Masehi seperti Qasim Amin, Thaha Husain, Muhammad Husain Haikal, Ali Abdirraziq dan lain-lain. Melalui tangan-tangan mereka, wacana pemikiran kaum orientalis Barat yang anti Islam mulai masuk ke dalam ranah pemikiran intelektual Muslim yang belajar di Mesir sejak pertengahan abad 20 yang lalu. Tak ayal apabila di kemudian hari, liberalisme juga menyerang ranah pemikiran kaum intelektual warga Nahdliyyin, yang seharusnya menjadi benteng ASWAJA.

Tradisi Bahtsul Masail
Di antara tradisi keilmuan NU yang memiliki otoritas di kalangan warga Nahdliyyin adalah tradisi Bahtsul Masail (mengkaji berbagai persoalan dari perspektif hukum Islam). Bahtsul Masail adalah suatu upaya bersama untuk mencarikan jawaban hukum Islam terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat. Selama ini, di kalangan ulama Nahdliyyin ada yang dikenal dengan istilah al-Kutub al-Mu‘tabarah, yaitu kitab-kitab yang dianggap otoritatif yang menjadi pedoman dan rujukan para ulama dalam keputusan Bahtsul Masail. Sebagaimana dimaklumi, tradisi Bahtsul Masail lahir dari rahim tradisi keilmuan para kiai pesantren ketika mereka belajar di Makkah al-Mukarromah, dan kemudian mereka bawa ke tanah air, lalu dikembangkan dalam organisasi NU yang mereka dirikan.
NU mengadakan Bahtsul Masail sejak jamiyah ini didirikan. Dalam kitab Ahkâmul Fuqahâ’, atau buku Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Hasil Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), dijelaskan bahwa Bahtsul Masail di dalam jamiyah Nahdlatul Ulama pertama kali diadakan pada 21 Oktober 1926 di Surabaya. Kini hasil-hasil keputusan Bahtsul Masail tersebut telah dibukukan secara lengkap sejak Bahtsul Masail pertama hingga Bahtsul Masail Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar, Sulawesi Seelatan pada tahuan lalu. Persoalan yang dikaji dalam tulisan ini adalah, mungkinkah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dipengaruhi oleh pemikiran liberal?

Liberalisme Gender
Untuk mengkaji pertanyaan di atas, tentang sejauh mana masuknya pengaruh liberalisme dalam ranah Bahtsul Masail di kalangan Nahdlatul Ulama, di sini akan dicoba mengetengahkan keputusan Bahtsul Masail Nandlatul Ulama dari masa ke masa, hingga maraknya pemikiran liberal di tengah-tengah intelektual kaum Nahdliyyin, dengan mengangkat persoalan gender, atau berkaitan dengan ahkâmun-nisâ’, hukum-hukum yang berkaitan dengan kaum perempuan.
1. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-8, 12 Muharam 1352 H/7 Mei 1933 M.
133.
Wanita Mendatangi Kegiatan Keagamaan
Soal: Bagaimana hukum para wanita yang keluar dari rumahnya dengan berpakaian rapi dan memakai wangi-wangian mendatangi rapat-rapat keagamaan yang tidak termasuk fardhu ‘ain? Haram, makruh, ataukah sunnat? (Gresik).
Jawab: Hukumnya haram apabila berkeyakinan mendapat fitnah, walaupun tidak berpakaian rapi dan tidak memakai wangi-wangian, atau tidak diizinkan suaminya atau sayidnya, dan termasuk doa besar. Apabila tidak yakin, tetapi menyangka adanya fitnah, maka haram tetapi dosa kecil… (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 127).
(Catatan: dalam keputusan di atas Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama mengharamkan wanita Muslimah menghadiri rapat-rapat keagamaan yang tidak termasuk fardhu ‘ain).
2. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-10, 10 Muharam 1354 H/7 Mei 1935 M.
160.
Munculnya Perempuan untuk Pidato Keagamaan
Soal: Bagaimana hukumnya orang perempuan berdiri di tengah-tengah lelaki lain untuk pidato keagamaan? Boleh ataukah tidak? (Ponorogo).
Jawab: Muktamar memutuskan bahwa berdirinya orang perempuan di tengah-tengah lelaki lain itu haram, kecuali kalau bisa sunyi dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jâ’iz) karena suara orang perempuan itu bukan termasuk aurat menurut qaul ashah. (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 154).
(Catatan: dalam keputusan di atas Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama mengharamkan seorang perempuan berdiri di tengah-tengah kaum lelaki untuk berpidato keagamaan, dengan sebuah catatan).
3. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-16, 26-29 Maret 1946 M.
273.
Perempuan Berpakaian Seragam Tentara
Soal: Bagaimana hukumnya orang perempuan berpakaian uniform seperti T.R.I (Tentara Republik Indonesia) dan sampai di mana batas-batas perjuangan kaum wanita dalam pertempuran?
Jawab: Perjuangan perempuan dalam soal jika perang itu telah menjadi fardhu ‘ain atas mereka (perempuan), maka tidak ada batas, yakni sama dengan laki-laki, begitu juga tentang latihannya. Hanya saja pasti di tempat yang tersendiri dari orang-orang laki-laki, sebagaimana mestinya. Mereka diwaktu latihan atau berjuang, boleh beruniform tentara wanita untuk meringankan gerakannya, asal saja pakaian unifrom itu menutup aurat… (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 279).
(Catatan: dalam keputusan di atas Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama melegalkan kaum perempuan berpakaian uniform seperti tentara dalam kondisi perang itu telah menjadi fardhu ‘ain. Berkaitan dengan latihan sebagai militer, kaum perempuan dibolehkan asal di tempat yang tersendiri dari orang-orang laki-laki).
4. Hasil Keputusan Rapat Dewan Partai NU, Jumadil Ula 1381 H/25 Oktober 1961 M.
309.
Perempuan Menjadi Kepala Desa
Soal: Bagaimana hukumnya perempuan menjadi kepada desa? Bolehkah atau tidak? (Fraksi NU DPRGR Pusat).
Jawab: Sebenarnya mencalonkan orang perempuan untuk pilihan Kepala Desa itu tidak boleh, kecuali dalam keadaan memaksa, sebab disamakan dengan tidak bolehnya orang perempuan menjadi hakim. Demikianlah menurut madzhab Syafii, Maliki, Hanbali dan yang dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf. Tetapi madzhab Hanafi memperbolehkan dalam urusan harta benda. Sedangkan Imam Ibnu Jarir memperbolehkan dalam segala urusan dari apa saja… (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 127).
(Catatan: dalam keputusan di atas Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama mengharamkan seorang perempuan mencalonkan diri menjadi kepada desa).
5. Keputusan MUNAS Alim Ulama, tahun 1418 H/1997 M di Lombok.
Kedudukan Wanita dalam Islam
Pengaruh kultur yang masih bersifat patrilinear dan kenyataan pada tingkat perbandingan proporsional antara laki-laki dan wanita ditemukan bahwa laki-laki (karena kondisi, sosial dan budaya) memiliki kelebihan atas wanita. (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 626).
Kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini… (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 627).
(Catatan: dalam keputusan di atas Munas Alim Ulama telah melonggarkan dan membuka kran peran kaum perempuan, yang sebelumnya telah diputuskan haram oleh para kiai sepuh–radhiyallâhu ‘anhum wa askanahum a‘lâ farâdisil jinân).
6. Keputusan Muktamar ke-30, 21-27 Nopember 1999
Islam dan Kesetaraan Gender
Terdapat tiga bidang yang menjadi halangan terciptanya “hubungan gender” yang lebih adil, yaitu bidang yang berkaitan dengan teologi (pandangan keagamaan), kebudayaan dan politik. Di bidang teologi, terdapat penafsiran keagamaan terhadap ayat atau Hadis yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan gender, sebaliknya malah bias laki-laki. Dalam penafsiran ini, perempuan didudukkan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Sumber penafsiran ini antara lain adalah kata “qawwâmûna” dalam surat al-Nisa’ [4]: 34, serta Hadis “lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan”. Kedua ayat dan Hadis itu ditasirkan menurut referensi Islam yang menegaskan kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan. Dari sudut penafsiran ini pula, terdapat pemahaman mengenai dua wilayah yang terpisah antara laki-laki dan perempuan… (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 649). Untuk itu, maka diperlukan langkah-langkah berikut:
1. Menafsirkan ulang beberapa nuktah dalam pemahaman keagamaan.
Karena adanya perkembangan dalam masyarakat yang menuntut terciptanya keadilan gender, maka penafsiran kembali paham keagamaan yang bias laki-laki merupakan keharusan yang tak bisa dielakkan. Dalam kaitan ini, beberapa hal harus dilakukan:
a) Menggunakan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis untuk memahami ayat alQur’an atau Hadis yang berkaitan dengan soal gender. Penafsiran-penafsiran dalam khazanah fikih yang bias laki-laki hendaknya dilihat sebagai cerminan dari kondisi sosial tertentu yang masih mendudukkan laki-laki pada posisi dominan.
b) Sesuai dengan prinsip keadilan gender serta prinsip umum Islam mengenai keadilan, maka diskriminasi atas perempuan dalam posisi publik tidak bisa dibenarkan. Kepemimpinan perempuan merupakan hak yang dimiliki perempuan, serta dengan hak yang sama juga dimiliki laki-laki. Ayat “qawwâmûna” dalam an-Nisa’ [4]: 34 hendaknya diletakkan dalam konteks hubungan domestik dalam rumah tangga, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghalangi hak perempuan atas posisi-posisi publik.
c) Penafsiran atas ayat al-Qur’an dan Hadis yang berhubungan dengan gender tidak hanya dianggap sebagai bagian dari “agama” itu sendiri, tetapi memerlukan ijtihad yang kedudukannya adalah relatif, dan tergantung pada perkembangan masyarakat yang terus berubah. (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 650-651).
d) Dibutuhkan penafsiran agama yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan gender untuk mengatasi diskriminasi atas perempuan di berbagai sektor kehidupan. (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 651).
2. Merombak praktik-praktik politik yang mendiskriminasikan perempuan. Dalam kaitan ini, hal-hal yang harus dilakukan adalah:
a) Membangun sistem sosial dan politik yang demokratis dan bebas dari diskriminasi gender, dengan mengedepankan lima prinsip berikut: (a) persamaan (musawah atau equality), (b) keadilan (‘adâlah atau justice), (c) kebebasan (hurriyyah atau freedom). (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 652).
(Catatan: dalam keputusan di atas Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama pada akhir kepemimpinan Gus Dur dan awal kepemiminan KH. Hasyim Muzadi tersebut, telah benar-benar liberal dan menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh para Kiai Sepuh.
* * *
Apabila kita menyimak keputusan di atas, terjadi perubahan yang cukup radikal dalam kultur pemikiran Nahdlatul Ulama dalam Bahtsul Masail, yang semula pada masa-masa kiai sepuh dahulu, sangat konsisten dengan al-Kutub al-Mu‘tabarah, kitab-kitab salaf yang otoritatif, sehingga tanpa malu-malu dan dengan sangat tegas para kiai sepuh mengharamkan kaum perempuan untuk sekedar menghadiri rapat-rapat yang tidak fardhu ‘ain, berpidato di depan kaum lelaki, menjadi kepala desa dan sesamanya.
Kini, sejak tahun 1997, tepatnya sejak Munas Alim Ulama di Lombok, sedikit demi sedikit, Nahdlatul Ulama melangkah dengan pasti menuju liberalisme pemikiran, dan puncaknya terjadi pada Muktamar 30 di Kediri, di mana dengan tanpa malu-malu, Muktamar Nahdlatul Ulama mengajak warga Nahdliyyin untuk mengusung ajaran kesetaraan gender dan menafsir ulang teks-teks keagamaan dengan pemikiran yang ditransfer dari Barat.

Pertanyaannya di sini adalah, mungkinkah keputusan Munas Alim Ulama di Lombok tahun 1997 dan Muktamar di Lirboyo tahun 1999 itu diluruskan, direvisi dan dikembalikan ke hasil Bahstul Masail para kiai sepuh yang konsisten dengan al-Kutub al-Mu‘tabarah? Wallâhu a‘lam.

*) Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Sidogiri. Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember.

Sumber: http://www.facebook.com/groups/channelnahdliyin/doc/205945552789938/

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India