Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi
Dari Al-Abbas Sahl bin Sad As-Saidi R.A, ia berkata bahwa seseorang
datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, '' Wahai Rasulullah,
tunjukanlah saya kepada suatu pekerjaan yang jika mengerjakannya,
niscaya saya dicintai Allah dan dicintai manusia. Rasulullah menjawab,
“Zuhudlah engkau di dunia, niscaya Allah mencintaimu,
dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka
mencintaimu. (Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah dan yang lainnya dengan
sanad Hasan).
Hadits ini mencakup dua wasiat besar dari wasiat
Nabi Muhammad SAW. Pertama: Zuhud di dunia yang merupakan sebab
mendapatkan kecintaan Allah. Kedua: Zuhud terhadap yang dimiliki manusia
merupakan sebab mendapat kecintaan dan penghormatan dari mereka.
Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa seorang manusia tidak akan termasuk
golongan orang yang berbahagia dan beruntung di dunia dan akhirat,
kecuali jika mampu meraih kecintaan Allah dengan cara lebih mementingkan
akhirat yang abadi daripada dunia yang fana, dan meraih kecintaan
manusia dengan cara menjadikan diri tidak berambisi terhadap apa yang
ada pada orang lain, dia meninggi dengan harga diri dan kemuliaan untuk
memperoleh kebaikan yang abadi, karena apa yang ada di akhirat lebih
baik dan lebih kekal.
Ibnu Hajar al-Haitsami mengomentari
tentang hadits tersebut,“Ini adalah salah satu hadits dari empat hadits
yang menjadi poros ajaran Islam".
Pemahaman dan pelajaran yang dikandung dari hadits ini sebagai berikut:
Pertama; Makna zuhud. Para ulama salaf dan ulama yang datang setelah
mereka telah beraneka ragam dalam mengungkapkan dan menafsirkan makna
zuhud di dunia. Semuanya kembali kepada yang diriwayatkan Imam Ahmad
dari Abu Idris al-Khulani R.A. sesungguhnya ia berkata, “Zuhud di dunia
ini bukan dengan mengharamkan yang halal dan membuang-buang harta.
Tetapi zuhud di dunia ialah menjadikan apa yang ada di tangan Allah
lebih dipercayai daripada yang ada di tanganmu. Jika menimpa kepadamu
satu musibah, maka pahalanya dan simpanan kebaikannya lebih diharapkan
daripada menetapkan musibah tersebut pada dirimu.
Dari ungkapan
ini zuhud dapat ditafsirkan dengan tiga hal yang semuanya merupakan
amalan hati dan bukan amalan anggota badan. Maka, Abu Sulaiman ad-Darani
berkata, “Jangan memberi kesaksian kepada seseorang bahwa dia bersikap
zuhud karena zuhud itu adanya di dalam hati. Yakni,
a. percaya kepada jaminan Allah yang senantiasa memberikan rezki kepada hamba-hambanya.
b. jika ditimpa musibah duniawi lebih mengharapkan pahala daripada barang-barang itu masih tetap pada dirinya.
c. tidak terpengaruh oleh pujian orang yang memuji dan cacian orang yang mencaci ketika berada pada yang hak (benar).
Berbagai ungkapan yang menafsirkan makna zuhud adalah perkataan Hasan
al-Bashri, “Orang yang zuhud adalah jika dia melihat seseorang, dia
berkata dia lebih utama daripada saya.
Wahab bin al-Ward
menyatakan, “Zuhud di dunia adalah kamu tidak bersedih karena ada yang
hilang darimu dan tidak merasa bahagia terhadap yang datang kepadamu.
Ketika ditanya tentang zuhud, Az-Zuhri berkata, “Perkara-perkara yang
haram tidak mengalahkan kesabarannya dan perkara-perkara yang halal
tidak menyibukkannya untuk bersyukur.
Menurut Sufyan bin Uyainah, “Orang yang zuhud di dunia jika diberi nikmat, dia bersyukur dan jika diuji, dia bersabar.
Rabiah mengatakan, “Penghulu zuhud adalah menghimpun sesuatu dengan haknya dan meletakkannya pada haknya.
Kesimpulannya jika kita mencari suri tauladan tentang kehidupan
orang-orang zuhud, maka kita akan mendapatkannya dalam kehidupan
Rasulullah SAW, baik dalam bentuk amal, akhlak maupun ucapannya yaitu
berupa nasehat-nasehat kepada umatnya.
0 komentar:
Posting Komentar