Oleh: Nashihuddin Asy'ary
Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar F Mas’udi
mengatakan, inti agama adalah akhlak, yang melampaui syariat.
Belakangan ini, ia melihat aspek akhlak mulai hilang dalam diri umat
Islam dengan mengutamakan pendekatan syariah secara dangkal. Kebencian
terhadap kelompok lain yang tidak mengikuti kelompok mereka menjadi
akidah baru yang menurut definisi kebenaran mereka, sudah tidak sah
keimanannya.
“Rasulullah sendiri pernah mengatakan, innama
buitstu liutammima makaarimal akhlak atau ia diperintahkan untuk
memperbaiki akhlak umat manusia,” paparnya di gedung PBNU baru-baru ini.
Akhlak berintikan kejujuran dan berbuat baik kepada orang lain.
Sayyidina Umar, dengan pendekatan akhlak, ketika menghukum seorang
pencuri onta, menggunakan perspektif akhlak. Para pencuri tidak dihukum
karena setelah diusut, ia tidak dikasih makan oleh majikannya sehingga
terpaksa mencuri. Ia lalu memutuskan majikannya berkewajiban mengganti
onta yang telah diambil sebagai tanggung jawab atas kelalainnya memenuhi
kewajiban.
Ia berpendapat, hukuman potong tangan, yang selalu dikampanyekan oleh pengikut Wahabi dan salafi, sangat formalistik.
Dijelaskannya, hukuman hudud atau potong tangan bagi para pencuri harus
dilihat dalam konteks turunnya ayat tersebut. Dalam tradisi jahiliyah,
hukuman atas sebuah kesalahan selalu lebih kejam dari tindakan yang
dilakukan.
Sebelum turunnya ayat tentang khisas, terdapat
sebuah peristiwa, yaitu dibunuhnya seorang anggota suku Yahudi oleh
kelompok lain. Suku Yahudi tersebut menuntut tiga hal, pertama, yang
terbunuh harus dihidupkan kembali, kalau tidak bisa, keluarga si
pembunuh harus bisa memenuhi rumahnya dengan bintang gemintang di
langit. Kalau tidak bisa, seluruh kampung pembunuh akan kami habisi.
Inilah prinsip pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan.
Lalu, turunlah sebuah ayat tentang khisas, untuk membatasi maksimal
hukuman yang boleh dikenakan. “Ada batas maksimum hukuman yang boleh
dikenakan, tapi kalau dihukum dibawahnya tetap boleh dan tetap Islami,”
jelasnya.
Maka dari itu, dikenal hukum jinayat atau pidana
Islam. Nyawa dibalas dengan nyawa, tetapi ada alternatif lain atau tidak
harus dibunuh, melainkan diganti dengan onta atau denta lainnya, bahkan
diberi pengampunan. Semuanya tetap dalam konteks ajaran Islam.
“Jangan dikira bahwa yang namanya hukum syar’i mesti maksimun. Kalau
tidak menghukum mati, dianggap tidak Islami. Khisas setimpal maknanya
sebagai hukuman maksimum. Kalau ganti rugi, lebih bertumpu pada
kelapangdadaan, ini akhlak,” tegasnya.
Penulis: Mukafi Niam
Sumber: https://www.facebook.com/groups/channelnahdliyin/doc/469395946444896/
Posted in: Fiqih Sosial
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar F Mas’udi mengatakan, inti agama adalah akhlak, yang melampaui syariat.
Belakangan ini, ia melihat aspek akhlak mulai hilang dalam diri umat
Islam dengan mengutamakan pendekatan syariah secara dangkal. Kebencian
terhadap kelompok lain yang tidak mengikuti kelompok mereka menjadi
akidah baru yang menurut definisi kebenaran mereka, sudah tidak sah
keimanannya.
“Rasulullah sendiri pernah mengatakan, innama buitstu liutammima makaarimal akhlak atau ia diperintahkan untuk memperbaiki akhlak umat manusia,” paparnya di gedung PBNU baru-baru ini.
Akhlak berintikan kejujuran dan berbuat baik kepada orang lain. Sayyidina Umar, dengan pendekatan akhlak, ketika menghukum seorang pencuri onta, menggunakan perspektif akhlak. Para pencuri tidak dihukum karena setelah diusut, ia tidak dikasih makan oleh majikannya sehingga terpaksa mencuri. Ia lalu memutuskan majikannya berkewajiban mengganti onta yang telah diambil sebagai tanggung jawab atas kelalainnya memenuhi kewajiban.
Ia berpendapat, hukuman potong tangan, yang selalu dikampanyekan oleh pengikut Wahabi dan salafi, sangat formalistik.
Dijelaskannya, hukuman hudud atau potong tangan bagi para pencuri harus dilihat dalam konteks turunnya ayat tersebut. Dalam tradisi jahiliyah, hukuman atas sebuah kesalahan selalu lebih kejam dari tindakan yang dilakukan.
Sebelum turunnya ayat tentang khisas, terdapat sebuah peristiwa, yaitu dibunuhnya seorang anggota suku Yahudi oleh kelompok lain. Suku Yahudi tersebut menuntut tiga hal, pertama, yang terbunuh harus dihidupkan kembali, kalau tidak bisa, keluarga si pembunuh harus bisa memenuhi rumahnya dengan bintang gemintang di langit. Kalau tidak bisa, seluruh kampung pembunuh akan kami habisi. Inilah prinsip pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan.
Lalu, turunlah sebuah ayat tentang khisas, untuk membatasi maksimal hukuman yang boleh dikenakan. “Ada batas maksimum hukuman yang boleh dikenakan, tapi kalau dihukum dibawahnya tetap boleh dan tetap Islami,” jelasnya.
Maka dari itu, dikenal hukum jinayat atau pidana Islam. Nyawa dibalas dengan nyawa, tetapi ada alternatif lain atau tidak harus dibunuh, melainkan diganti dengan onta atau denta lainnya, bahkan diberi pengampunan. Semuanya tetap dalam konteks ajaran Islam.
“Jangan dikira bahwa yang namanya hukum syar’i mesti maksimun. Kalau tidak menghukum mati, dianggap tidak Islami. Khisas setimpal maknanya sebagai hukuman maksimum. Kalau ganti rugi, lebih bertumpu pada kelapangdadaan, ini akhlak,” tegasnya.
Penulis: Mukafi Niam
“Rasulullah sendiri pernah mengatakan, innama buitstu liutammima makaarimal akhlak atau ia diperintahkan untuk memperbaiki akhlak umat manusia,” paparnya di gedung PBNU baru-baru ini.
Akhlak berintikan kejujuran dan berbuat baik kepada orang lain. Sayyidina Umar, dengan pendekatan akhlak, ketika menghukum seorang pencuri onta, menggunakan perspektif akhlak. Para pencuri tidak dihukum karena setelah diusut, ia tidak dikasih makan oleh majikannya sehingga terpaksa mencuri. Ia lalu memutuskan majikannya berkewajiban mengganti onta yang telah diambil sebagai tanggung jawab atas kelalainnya memenuhi kewajiban.
Ia berpendapat, hukuman potong tangan, yang selalu dikampanyekan oleh pengikut Wahabi dan salafi, sangat formalistik.
Dijelaskannya, hukuman hudud atau potong tangan bagi para pencuri harus dilihat dalam konteks turunnya ayat tersebut. Dalam tradisi jahiliyah, hukuman atas sebuah kesalahan selalu lebih kejam dari tindakan yang dilakukan.
Sebelum turunnya ayat tentang khisas, terdapat sebuah peristiwa, yaitu dibunuhnya seorang anggota suku Yahudi oleh kelompok lain. Suku Yahudi tersebut menuntut tiga hal, pertama, yang terbunuh harus dihidupkan kembali, kalau tidak bisa, keluarga si pembunuh harus bisa memenuhi rumahnya dengan bintang gemintang di langit. Kalau tidak bisa, seluruh kampung pembunuh akan kami habisi. Inilah prinsip pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan.
Lalu, turunlah sebuah ayat tentang khisas, untuk membatasi maksimal hukuman yang boleh dikenakan. “Ada batas maksimum hukuman yang boleh dikenakan, tapi kalau dihukum dibawahnya tetap boleh dan tetap Islami,” jelasnya.
Maka dari itu, dikenal hukum jinayat atau pidana Islam. Nyawa dibalas dengan nyawa, tetapi ada alternatif lain atau tidak harus dibunuh, melainkan diganti dengan onta atau denta lainnya, bahkan diberi pengampunan. Semuanya tetap dalam konteks ajaran Islam.
“Jangan dikira bahwa yang namanya hukum syar’i mesti maksimun. Kalau tidak menghukum mati, dianggap tidak Islami. Khisas setimpal maknanya sebagai hukuman maksimum. Kalau ganti rugi, lebih bertumpu pada kelapangdadaan, ini akhlak,” tegasnya.
Penulis: Mukafi Niam
Sumber: https://www.facebook.com/groups/channelnahdliyin/doc/469395946444896/
0 komentar:
Posting Komentar