Oleh: Nashihuddin Asy'ary
“Ibarat makanan, Pancasila, yang sudah kita kunyah selama 36 tahun, kok
sekarang dipersoalkan halal dan haramnya.” Demikian ungkapan K.H. Ahmad
Shiddiq mengenai penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya
asas organisasi, dalam Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo.
NU
adalah organisasi Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas
tunggal, padahal tidak sedikit umat yang menolaknya, apalagi partai
Islam. Itulah ketokohan, kemampuan intelektual, dan kapasitas keulamaan
Ahmad Shiddiq.
Pujian Presiden Suharto terucap pada tahun 1989
ketika membuka Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta. Sejak itu, di bawah
kepemimpinan Ahmad Shiddiq, sebagai rais am, pamor NU semakin terangkat.
Pada Muktamar NU ke-27/1984 di Situbondo, ia berhasil menjadi palang
terakhir pemisahan diri yang dilakukan K.H. As`ad Syamsul Arifin
terhadap kepemimpinan PBNU hasil Muktamar ke-28. Ia merangkul kembali
kiai sesepuh NU yang kharismatis tersebut.
Pada Muktamar NU
ke-28 itu ia berhasil menyelamatkan duet dirinya dengan Gus Dur, yang
banyak menerima guncangan dari sebagian warga NU sendiri.
Begitu juga mengenai “kembali ke khiththah NU 1926”. Meski bukan
satu-satunya perumus, dialah yang disepakati sebagai bintangnya kembali
ke khiththah. Pada 1979 ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang
khiththah Nahdliyah, sebagai sumbangan berharga bagi warga NU.
Ahmad Shiddiq lahir di Jember tepat seminggu sebelum NU diresmikan
berdirinya oleh Hasyim Asy’ari, yaitu 24 Januari 1926. Ayahnya, K.H. M.
Siddiq, adalah pendiri Pesantren Ash Shiddiqiyah di Jember. Seusai
belajar di Ash-Shiddiqiyah, ia belajar di Pesantren Tebuireng.
Ia diangkat menjadi sekretaris pribadi menteri agama ketika jabatan itu
dipercayakan kepada Wahid Hasyim pada 1950. Ketika menjadi ketua
Tanfidziyah NU, Abdurrahman Wahid, cucu K.H. Hasyim Asy`ari, pun berduet
dengannya sebagai rais am PBNU.
Sebelum itu, ia mundur dari
DPR hasil Pemilu 1955, karena, “Saya selalu bicara keras soal Nasakom.”
Ia hadir kembali sebagai wakil rakyat setelah pemilu Orde Baru pertama,
1971.
Tanggal 23 Januari 1991, K.H. Ahmad Shiddiq berpulang ke
rahmatullah pada usia 65 tahun. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan di
pemakaman Auliya, Ploso, Kediri, tempat beberapa kiai hafal Al-Quran
dikuburkan.
Sumber:
Posted in: Tokoh NU
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
“Ibarat makanan, Pancasila, yang sudah kita kunyah selama 36 tahun, kok
sekarang dipersoalkan halal dan haramnya.” Demikian ungkapan K.H. Ahmad
Shiddiq mengenai penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya
asas organisasi, dalam Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo.
NU adalah organisasi Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal, padahal tidak sedikit umat yang menolaknya, apalagi partai Islam. Itulah ketokohan, kemampuan intelektual, dan kapasitas keulamaan Ahmad Shiddiq.
Pujian Presiden Suharto terucap pada tahun 1989 ketika membuka Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta. Sejak itu, di bawah kepemimpinan Ahmad Shiddiq, sebagai rais am, pamor NU semakin terangkat.
Pada Muktamar NU ke-27/1984 di Situbondo, ia berhasil menjadi palang terakhir pemisahan diri yang dilakukan K.H. As`ad Syamsul Arifin terhadap kepemimpinan PBNU hasil Muktamar ke-28. Ia merangkul kembali kiai sesepuh NU yang kharismatis tersebut.
Pada Muktamar NU ke-28 itu ia berhasil menyelamatkan duet dirinya dengan Gus Dur, yang banyak menerima guncangan dari sebagian warga NU sendiri.
Begitu juga mengenai “kembali ke khiththah NU 1926”. Meski bukan satu-satunya perumus, dialah yang disepakati sebagai bintangnya kembali ke khiththah. Pada 1979 ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang khiththah Nahdliyah, sebagai sumbangan berharga bagi warga NU.
Ahmad Shiddiq lahir di Jember tepat seminggu sebelum NU diresmikan berdirinya oleh Hasyim Asy’ari, yaitu 24 Januari 1926. Ayahnya, K.H. M. Siddiq, adalah pendiri Pesantren Ash Shiddiqiyah di Jember. Seusai belajar di Ash-Shiddiqiyah, ia belajar di Pesantren Tebuireng.
Ia diangkat menjadi sekretaris pribadi menteri agama ketika jabatan itu dipercayakan kepada Wahid Hasyim pada 1950. Ketika menjadi ketua Tanfidziyah NU, Abdurrahman Wahid, cucu K.H. Hasyim Asy`ari, pun berduet dengannya sebagai rais am PBNU.
Sebelum itu, ia mundur dari DPR hasil Pemilu 1955, karena, “Saya selalu bicara keras soal Nasakom.” Ia hadir kembali sebagai wakil rakyat setelah pemilu Orde Baru pertama, 1971.
Tanggal 23 Januari 1991, K.H. Ahmad Shiddiq berpulang ke rahmatullah pada usia 65 tahun. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan di pemakaman Auliya, Ploso, Kediri, tempat beberapa kiai hafal Al-Quran dikuburkan.
Sumber:
NU adalah organisasi Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal, padahal tidak sedikit umat yang menolaknya, apalagi partai Islam. Itulah ketokohan, kemampuan intelektual, dan kapasitas keulamaan Ahmad Shiddiq.
Pujian Presiden Suharto terucap pada tahun 1989 ketika membuka Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta. Sejak itu, di bawah kepemimpinan Ahmad Shiddiq, sebagai rais am, pamor NU semakin terangkat.
Pada Muktamar NU ke-27/1984 di Situbondo, ia berhasil menjadi palang terakhir pemisahan diri yang dilakukan K.H. As`ad Syamsul Arifin terhadap kepemimpinan PBNU hasil Muktamar ke-28. Ia merangkul kembali kiai sesepuh NU yang kharismatis tersebut.
Pada Muktamar NU ke-28 itu ia berhasil menyelamatkan duet dirinya dengan Gus Dur, yang banyak menerima guncangan dari sebagian warga NU sendiri.
Begitu juga mengenai “kembali ke khiththah NU 1926”. Meski bukan satu-satunya perumus, dialah yang disepakati sebagai bintangnya kembali ke khiththah. Pada 1979 ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang khiththah Nahdliyah, sebagai sumbangan berharga bagi warga NU.
Ahmad Shiddiq lahir di Jember tepat seminggu sebelum NU diresmikan berdirinya oleh Hasyim Asy’ari, yaitu 24 Januari 1926. Ayahnya, K.H. M. Siddiq, adalah pendiri Pesantren Ash Shiddiqiyah di Jember. Seusai belajar di Ash-Shiddiqiyah, ia belajar di Pesantren Tebuireng.
Ia diangkat menjadi sekretaris pribadi menteri agama ketika jabatan itu dipercayakan kepada Wahid Hasyim pada 1950. Ketika menjadi ketua Tanfidziyah NU, Abdurrahman Wahid, cucu K.H. Hasyim Asy`ari, pun berduet dengannya sebagai rais am PBNU.
Sebelum itu, ia mundur dari DPR hasil Pemilu 1955, karena, “Saya selalu bicara keras soal Nasakom.” Ia hadir kembali sebagai wakil rakyat setelah pemilu Orde Baru pertama, 1971.
Tanggal 23 Januari 1991, K.H. Ahmad Shiddiq berpulang ke rahmatullah pada usia 65 tahun. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan di pemakaman Auliya, Ploso, Kediri, tempat beberapa kiai hafal Al-Quran dikuburkan.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar