Oleh: Nashihuddin Asy'ary
Dua Ulama dari Singaparna
Zaman penjajahan Belanda, dua pemuda dari Kampung Bageur, Tasikmalaya,
minimba ilmu di Pesantren Gunung Pari. Keduanya bernama Umri dan
Dimyati. Masih sadaura sepupu, yang jalur silsilah keluarga bertemu di
H. Arijam.
Umri dan Dimyati belajar di pesantren atas biayai
seorang kaya, Hj. Juariyah. Sepulang belajar, dua pemuda tersebut
dinikahkan kepada dua perempuan yang masih saudara sepupu, dan masih
kerabat dengan Hj. Juariyah.
Oleh Hj. Juariyah pula, mereka
diberi tanah untuk mendirikan pesantren. Pada tahun 1922, Dimyati
mendirikan pesantren Sukahideng di Desa Bageur. Lima tahun kemudian,
1927, Umri juga mendirikan Pesantren Sukamanah di Desa Cikembang. Kedua
pesantren tersebut hanya berjarak 1,5 km. Waktu itu, keduanya masuk
wilayah Kecamatan Singaparna. Karena pemekaran, sekarang berada di
Kecamatan Sukarapih.
Melalui pesantren, Umri dan Dimyati bahu-membahu berjuang mendidik masyarakat sekitar yang masih gelap pengetahuan agama.
Dua Zainal
Pada tahun 1928, Hj. Juariyah kembali menunjukkan kedermawanannya. Ia
memberangkatkan kedua kiai muda tersebut ke tanah suci. Sepulang
menunaikan ibadah haji, keduanya berganti nama; Umri menjadi Zainal
Musthafa, dan Dimyati menjadi Zainal Muhsin.
Sepuluh tahun
kemudian, 1938, Dimyati alias Kia Haji Zainal Muhsin Wafat. Kepengurusan
pesantren dilanjutkan salah seorang menantunya, yaitu Kiai Haji Yahya
Bahtiar Afandi sampai dengan tahun 1945. Dari tahun 1945, pesantren
dilanjutkan anak sulung Dimyati, yaitu Kiai Haji A. Wahab Muhsin.
Umri melawan Jepang
Pada masa kolonial, tangan-tangan Belanda pun sampai daerah Singaparna.
Rakyat di sana mendapat pengawasan yang ketat. Pasalnya, selain rakyat
teguh beragama, teguh pula memegang kebangsaannya. Pada saat yang sama
dari pesantren tumbuh alasan-alasan yang sangat menggetarkan hati untuk
memberontak terhadap penjajahan totaliter, termasuk pada Jepang yang
memeras dan menyiksa rakyat melelui romusha.
Pada tanggal 25
Februari 1944 M, bertepatan dengan tanggal 1 Rab’ul Awal 1365 H, Umri
yang sudah berganti nama Zainal Musthafa, melawan penjajahan Jepang
karena mereka sudah berlebihan. Mereka menyuruh Seikerei, menghormat
kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo.
Kiai
Zainal jelas menolak. Praktik Seikerei bentuk lain dari kemusyrikan dan
kekafiran yang bertentangan dengan tauhid dalam Islam.
Karena
itulah, Kiai Zainal yang aktif menjadi Wakil Rais Syuriyah NU sejak
tahun 1933 tersebut, tidak hanya dipenjara, melainkan dihukum mati.
Bertahun-tahun, jasadnya tidak diketahui keberadaannya.
Pada
tahun 1970 M, Kepala Erevele Belanda Ancol Jakarta memberi kabar, bahwa
KHZ Musthafa telah menjalani hukuman mati pada tanggal 25 Oktober 1944
dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta.
Pada tanggal 20 November 1972, KH Zainal Musthafa dianugerahi “Pahlawan Nasional” dengan SK Presiden RI No : 064/TK Tahun 1972.
Dua Zainal telah wafat. Keduanya mewariskan pesantren yang melahirkan
ribuan santri. Dua pesantren tersebut, Sukahideng dan Sukamanah, berada
dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Perguruan KHZ Musthafa.
Yayasan tersebut dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1959 oleh putera
Dimyati, KH Wahab Muhsin, Rais Syuriyah NU Kabupaten Tasikmalaya (wafat
2000), bersama Letnan Syarif Hidayat (santri KHZ Musthafa) sebagai
pelestarian perjuangan kedua almarhum dalam bidang pendidikan. (Abdullah
Alawi)
Sumber: http://www.facebook.com/groups/channelnahdliyin/permalink/480833295301161/
Posted in: Tokoh NU
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Zaman penjajahan Belanda, dua pemuda dari Kampung Bageur, Tasikmalaya, minimba ilmu di Pesantren Gunung Pari. Keduanya bernama Umri dan Dimyati. Masih sadaura sepupu, yang jalur silsilah keluarga bertemu di H. Arijam.
Umri dan Dimyati belajar di pesantren atas biayai seorang kaya, Hj. Juariyah. Sepulang belajar, dua pemuda tersebut dinikahkan kepada dua perempuan yang masih saudara sepupu, dan masih kerabat dengan Hj. Juariyah.
Oleh Hj. Juariyah pula, mereka diberi tanah untuk mendirikan pesantren. Pada tahun 1922, Dimyati mendirikan pesantren Sukahideng di Desa Bageur. Lima tahun kemudian, 1927, Umri juga mendirikan Pesantren Sukamanah di Desa Cikembang. Kedua pesantren tersebut hanya berjarak 1,5 km. Waktu itu, keduanya masuk wilayah Kecamatan Singaparna. Karena pemekaran, sekarang berada di Kecamatan Sukarapih.
Melalui pesantren, Umri dan Dimyati bahu-membahu berjuang mendidik masyarakat sekitar yang masih gelap pengetahuan agama.
Dua Zainal
Pada tahun 1928, Hj. Juariyah kembali menunjukkan kedermawanannya. Ia memberangkatkan kedua kiai muda tersebut ke tanah suci. Sepulang menunaikan ibadah haji, keduanya berganti nama; Umri menjadi Zainal Musthafa, dan Dimyati menjadi Zainal Muhsin.
Sepuluh tahun kemudian, 1938, Dimyati alias Kia Haji Zainal Muhsin Wafat. Kepengurusan pesantren dilanjutkan salah seorang menantunya, yaitu Kiai Haji Yahya Bahtiar Afandi sampai dengan tahun 1945. Dari tahun 1945, pesantren dilanjutkan anak sulung Dimyati, yaitu Kiai Haji A. Wahab Muhsin.
Umri melawan Jepang
Pada masa kolonial, tangan-tangan Belanda pun sampai daerah Singaparna. Rakyat di sana mendapat pengawasan yang ketat. Pasalnya, selain rakyat teguh beragama, teguh pula memegang kebangsaannya. Pada saat yang sama dari pesantren tumbuh alasan-alasan yang sangat menggetarkan hati untuk memberontak terhadap penjajahan totaliter, termasuk pada Jepang yang memeras dan menyiksa rakyat melelui romusha.
Pada tanggal 25 Februari 1944 M, bertepatan dengan tanggal 1 Rab’ul Awal 1365 H, Umri yang sudah berganti nama Zainal Musthafa, melawan penjajahan Jepang karena mereka sudah berlebihan. Mereka menyuruh Seikerei, menghormat kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo.
Kiai Zainal jelas menolak. Praktik Seikerei bentuk lain dari kemusyrikan dan kekafiran yang bertentangan dengan tauhid dalam Islam.
Karena itulah, Kiai Zainal yang aktif menjadi Wakil Rais Syuriyah NU sejak tahun 1933 tersebut, tidak hanya dipenjara, melainkan dihukum mati. Bertahun-tahun, jasadnya tidak diketahui keberadaannya.
Pada tahun 1970 M, Kepala Erevele Belanda Ancol Jakarta memberi kabar, bahwa KHZ Musthafa telah menjalani hukuman mati pada tanggal 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta.
Pada tanggal 20 November 1972, KH Zainal Musthafa dianugerahi “Pahlawan Nasional” dengan SK Presiden RI No : 064/TK Tahun 1972.
Dua Zainal telah wafat. Keduanya mewariskan pesantren yang melahirkan ribuan santri. Dua pesantren tersebut, Sukahideng dan Sukamanah, berada dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Perguruan KHZ Musthafa.
Yayasan tersebut dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1959 oleh putera Dimyati, KH Wahab Muhsin, Rais Syuriyah NU Kabupaten Tasikmalaya (wafat 2000), bersama Letnan Syarif Hidayat (santri KHZ Musthafa) sebagai pelestarian perjuangan kedua almarhum dalam bidang pendidikan. (Abdullah Alawi)
0 komentar:
Posting Komentar