Oleh Abi Muhammad Ismail Halim
As-Shalah adalah nama lain untuk surah pembuka dalam al-Qur’an
al-Karim. Al-Fatihah adalah bagian integral dari shalat, tidak ada
shalat tanpa Al-Fatihah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa
shalat tanpa membaca Ummul Qur’an di dalamnya, maka shalatnya kurang,
shalatnya kurang, shalatnya kurang, dan tidak sempurna.” (HR Muslim).
Al-Fatihah dikenal pula sebagai ‘tujuh
ayat yang dibaca berulang-ulang’ (sab’al matsani) di dalam shalat, baik
wajib maupun sunah. (QS al-Hijr [15]: 87).
Di dalam sebuah
hadis Qudsi, secara eksplisit Allah SWT mengidentikkan al-Fatihah dengan
as-Shalah. Nabi SAW bersabda, “Allah Yang Mahamulia dan Mahabesar
berfirman: “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku dua bagian, dan
bagi hamba-Ku apa yang dimintanya. Apabila hamba membaca:
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin” (Segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam), maka Allah Yang Mahamulia dan Mahabesar berfirman: “Hamba-Ku
memuji Aku.” Apabila ia membaca “Arrahmanirrahim” (Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang), maka Allah Yang Mahamulia dan Mahabesar berfirman:
“Hamba-Ku menyanjung Aku.”
Apabila ia membaca: “Maliki
yaumiddin” (Yang Memiliki hari Pembalasan), maka Allah berfirman:
“Hamba-Ku memuliakan Aku”, dan sekali waktu Dia berfirman: “Hamba-Ku
menyerah kepada-Ku”. Apabila ia membaca: “Iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in” (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon
pertolongan), Allah berfirman: “Ini antara Aku dan hambaKu, dan bagi
hamba-Ku apa yang dimintanya.”
Apabila ia membaca:
“Ihdinashshirathal mustaqim. Shirathal ladzina an’amta alaihim ghairil
maghdhubi ‘alaihim wa ladhdhallin” (Tunjukilah kami jalan yang lurus,
yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri petunjuk atas mereka bukan
[jalan] orang-orang yang dimurkai atas mereka dan bukan [jalan]
orang-orang yang sesat). Maka, Allah berfirman: “Ini untuk hamba-Ku dan
bagi hamba-Ku apa yang dimintanya.” (HR Muslim).
Di dalam
shalat terjadi dialog yang sangat indah antara seorang hamba dengan
Tuhannya. Di dalamnya juga terangkum penghormatan, penghargaan,
pengakuan, dan cinta sejati (hamd), harap (raja’), dan cemas (khauf).
Selain dimensi vertikal, di dalam shalat terbangun pula sendi-sendi
dari sebuah masyarakat madani (civil society). Shalat berjamaah
merefleksikan interaksi horizontal yang tertib dan teratur. Shaf-shaf
shalat berjamaah memancarkan keindahan dari sebuah keteraturan dan
ketertiban yang terbangun di atas dasar ketaatan, persaudaraan, dan
kesetaraan. Selain interaksi fisik, terjalin pula ikatan hati di antara
para jamaah baik secara lokal maupun global melalui doa-doa kolektif dan
salam yang ditebarkan sebagai penutupnya.
Shalat berjamaah
mengajarkan pula prinsip-prinsip kepemimpinan. Pemimpin atau imam
shalat, dipilih berdasarkan kompetensi dan integritasnya. Jika imam
salah, makmum berkewajiban mengingatkan, bahkan pemimpin yang tidak lagi
memenuhi persyaratan. Wallahu a’lam.
Sumber: republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar