Kriteria Memilih Pasangan Hidup
oleh2 dari PP. Darul Mukhlishiin Temulus Ngawi
Pesen Romo Yai Ulin Nuha Rozy
" Niat, Yakin dan Lihat "
1. Menentukan Kriteria
Dalam menentukan kriteria calon pasangan, Islam memberikan dua sisi
yang perlu diperhatikan. Pertama, sisi yang terkait dengan agama, nasab,
harta maupun kecantikan. Kedua, sisi lain yang lebih terkait dengan
selera pribadi, seperti masalah suku, status sosial, corak pemikiran,
kepribadian, serta hal-hal yang terkait dengan masalah fisik termasuk
masalah kesehatan dan seterusnya.
A. Masalah Yang Pertama
Masalah yang pertama adalah masalah yang terkait dengan standar umum.
Yaitu masalah agama, keturunan, harta dan kecantikan. Masalah ini sesuai
dengan hadits Rasulullah SAW dalam haditsnya yang cukup masyhur.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ
لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا
فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Wanita itu dinikahi
karena empat hal : karena agamanya, nasabnya, hartanya dan
kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat (HR.
Bukhari, Muslim)
Khusus masalah agama, Rasulullah SAW memang
memberikan penekanan yang lebih, sebab memilih wanita yang sisi
keagamaannya sudah matang jauh lebih menguntungkan ketimbang istri yang
kemampuan agamanya masih setengah-setengah. Sebab dengan kondisi yang
masih setengah-setengah itu, berarti suami masih harus bekerja ekstra
keras untuk mendidiknya. Itupun kalau suami punya kemampuan agama yang
lebih. Tetapi kalau kemampuannya pas-pasan, maka mau tidak mau suami
harus `menyekolahkan` kembali istrinya agar memiliki kemampuan dari sisi
agama yang baik.
Tentu saja yang dimaksud dengan sisi
keagamaan bukan berhenti pada luasnya pemahaman agama atau fikrah saja,
tetapi juga mencakup sisi kerohaniannya (ruhiyah) yang idealnya adalah
tipe seorang yang punya hubungan kuat dengan Allah SWT. Secara rinci
bisa dicontohkan antara lain :
a. Aqidahnya kuat
b. Ibadahnya rajin
c. Akhlaqnya mulia
d. Pakaiannya dan dandanannya memenuhi standar busana muslimah
e. Menjaga kohormatan dirinya dengan tidak bercampur baur dan ikhtilath dengan lawan jenis yang bukan mahram
f. Tidak bepergian tanpa mahram atau pulang larut
g. Fasih membaca Al-Quran Al-Kariem
h. Ilmu pengetahuan agamanya mendalam
i. Aktifitas hariannya mencerminkan wanita shalilhah
j. Berbakti kepada orang tuanya serta rukun dengan saudaranya
k. Pandai menjaga lisannya
l. Pandai mengatur waktunya serta selalu menjaga amanah yang diberikan kepadanya
m. Selalu menjaga diri dari dosa-dosa meskipun kecil
n. Pemahaman syariahnya tidak terbata-bata
o. Berhusnuzdhon kepada orang lain, ramah dan simpatik
Sedangkan dari sisi nasab atau keturunan, merupakan anjuran bagi
seorang muslim untuk memilih wanita yang berasal dari keluarga yang taat
beragama, baik status sosialnya dan terpandang di tengah masyarakat.
Dengan mendapatkan istri dari nasab yang baik itu, diharapkan nantinya
akan lahir keturunan yang baik pula. Sebab mendapatkan keturunan yang
baik itu memang bagian dari perintah agama, seperti yang Allah SWT
firmankan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ
لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُواْ عَلَيْهِمْ
فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيدًا
Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9)
Sebaliknya, bila istri berasal dari keturunan yang kurang baik nasab
keluarga, seperti kalangan penjahat, pemabuk, atau keluarga yang pecah
berantakan, maka semua itu sedikit banyak akan berpengaruh kepada jiwa
dan kepribadian istri. Padahal nantinya peranan istri adalah menjadi
pendidik bagi anak. Apa yang dirasakan oleh seorang ibu pastilah akan
langsung tercetak begitu saja kepada anak.
Pertimbangan memilih
istri dari keturunan yang baik ini bukan berarti menjatuhkan vonis
untuk mengharamkan menikah dengan wanita yang kebetulan keluarganya
kurang baik. Sebab bukan hal yang mustahil bahwa sebuah keluarga akan
kembali ke jalan Islam yang terang dan baik. Namun masalahnya adalah
pada seberapa jauh keburukan nasab keluarga itu akan berpengaruh kepada
calon istri. Selain itu juga pada status kurang baik yang akan tetap
disandang terus ditengah masyarakat yang pada kasus tertentu sulit
dihilangkan begitu saja. Tidak jarang butuh waktu yang lama untuk
menghilangkan cap yang terlanjur diberikan masyarakat.
Maka
bila masih ada pilihan lain yang lebih baik dari sisi keturunan,
seseorang berhak untuk memilih istri yang secara garis keturunan lebih
baik nasabnya.
B. Masalah Yang Kedua
Masalah kedua
terkait dengan selera subjektif seseorang terhadap calon pasanan
hidupnya. Sebenarnya hal ini bukan termasuk hal yang wajib diperhatikan,
namun Islam memberikan hak kepada seseorang untuk memilih pasangan
hidup berdasarkan subjektifitas selera setiap individu maupun keluarga
dan lingkungannya.
Intinya, meski pun dari sisi yang pertama
tadi sudah dianggap cukup, bukan berarti dari sisi yang kedua bisa
langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adalah hal yang tidak
bisa disepelekan begitu saja. Karena terkait dengan hak setiap individu
dan hubungannya dengan orang lain.
Sebagai contoh adalah
kecenderungan dasar yang ada pada tiap masyarakat untuk menikah dengan
orang yang sama sukunya atau sama rasnya. Kecenderungan ini tidak ada
kaitannya dengan masalah fanatisme darah dan warna kulit, melainkan
sudah menjadi bagian dari kecenderungan umum di sepanjang zaman. Dan
Islam bisa menerima kecenderungan ini meski tidak juga
menghidup-hidupkannya.
Sebab bila sebuah rumah tangga didirikan
dari dua orang yang berangkat dari latar belakang budaya yang berbeda,
meski masih seagama, tetap saja akan timbul hal-hal yang secara watak
dan karakter sulit dihilangkan.
Contoh lainnya adalah selera
seseorang untuk mendapatkan pasangan yang punya karakter dan sifat
tertentu. Ini merupakan keinginan yang wajar dan patut dihargai.
Misalnya seorang wanita menginginkan punya suami yang lembut atau yang
macho, merupakan bagian dari selera seseorang. Atau sebaliknya, seorang
laki-laki menginginkan punya istri yang bertipe wanita pekerja atau yang
tipe ibu rumah tangga. Ini juga merupakan selera masing-masing orang
yang menjadi haknya dalam memilih.
Islam memberikan hak ini
sepenuhnya dan dalam batas yang wajar dan manusiawi memang merupakan
sebuah realitas yang tidak terhindarkan.
2. Melihat Langsung Calon Yang Terpilih
Seorang muslim apabila berkehendak untuk menikah dan mengarahkan
niatnya untuk meminang seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat
perempuan tersebut sebelum ia mulai melangkah ke jenjang perkawinan,
supaya dia dapat menghadapi perkawinannya itu dengan jelas dan terang,
dan supaya tidak tertipu. Sehingga dengan demikian, dia akan dapat
selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu yang tidak
diinginkan.
Ini adalah justru karena mata merupakan duta hati
dan kemungkinan besar bertemunya mata dengan mata itu menjadi sebab
dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Dari Abu Hurairah
ra berkata `Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada
seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan
seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat
dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan
lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.`
(Riwayat Muslim)
Dari Mughirah bin Syu`bah bahwa dia pernah
meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi SAW mengatakan
kepadanya:`Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk
mengekalkan kamu berdua.` Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua
perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas,
tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan
tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau
Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata
Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (HR. Ahmad,
Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).
Dalam hadis ini Rasulullah
tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat, baik kepada Mughirah
maupun kepada lain-lainnya. Justru itu sebagian ulama ada yang
berpendapat: yang boleh dilihat yaitu muka dan dua tapak tangan, tetapi
muka dan dua tapak tangan yang boleh dilihat itu tidak ada syahwat pada
waktu tidak bermaksud meminang. Dan selama peminangan itu dikecualikan,
maka sudah seharusnya si laki-laki tersebut boleh melihat lebih banyak
dari hal-hal yang biasa. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda
dalam salah satu hadisnya sebagai berikut:
عَنْ جَابِرٍ t قَالَ
: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنْ
اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا
فَلْيَفْعَلْ - رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ
Apabila salah
seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia
dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk
mengawininya, maka kerjakanlah. (HR Ahmad dan Abu Daud)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ t أَنَّ اَلنَّبِيَّ r قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ
اِمْرَأَةً : أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ؟ قَالَ : لا . قَالَ : اِذْهَبْ
فَانْظُرْ إِلَيْهَا
Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW
bertanya kepada seseorang yang hendak menikahi wanita,"Apakah kamu sudah
pernah melihatnya?". "Belum", jawabnya. Nabi SAW bersabda,"Pergilah
melihatnya dahulu". (HR. Muslim)
3. Batasan Dalam Melihat
Sementara ulama ada yang sangat ekstrim dalam memberikan kebebasan
batas yang boleh dilihat, dan sementara ada juga yang ekstrim dengan
mempersempit dan keras. Tetapi yang lebih baik ialah tengah-tengah.
Justru itu sebagian ahli penyelidik memberikan batas, bahwa seorang
laki-laki di zaman kita sekarang ini boleh melihat perempuan yang hendak
dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan
mahram-mahramnya yang lain.
Selanjutnya mereka berkata: bahwa
si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut dengan syarat
disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dengan pakaian menurut
ukuran syara` ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui
kecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya. Semua ini termasuk kata
sebagian yang disebut dalam hadis Nabi di atas yang mengatakan: `...
kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia
untuk mengawininya.`
Dibolehkan juga si laki-laki melihat
perempuan dengan sepengetahuan keluarganya; atau samasekali tidak
sepengetahuan dia atau keluarganya, selama melihatnya itu bertujuan
untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin Abdullah tentang
isterinya: `Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia.`
Bahkan dari hadis Mughirah di atas kita tahu, bahwa seorang ayah tidak
boleh menghalang-halangi anak gadisnya untuk dilihat oleh orang yang
berminat hendak meminang dengan dalih tradisi. Sebab yang harus diikuti
ialah tradisi agama, bukan agama harus mengikuti tradisi manusia.
Namun di balik itu, seorang ayah dan laki-laki yang hendak meminang
maupun perempuan yang hendak dipinang, tidak diperkenankan memperluas
mahramnya, seperti yang biasa dilakukan oleh penggemar-penggemar
kebudayaan Barat dan tradisi-tradisi Barat. Ekstrimis kanan maupun kiri
adalah suatu hal yang amat ditentang oleh jiwa Islam.
Wallahu A'lam
Salam Lintang Songo
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=449436018405048&set=a.339404839408167.104534.338089252873059&type=3
1 komentar:
terima kasih ilmunya
Posting Komentar